![]() |
| Dok. Setiawan Jodi Fakhar, S.H., CPM |
Dalam banyak kasus, hukum tampaknya lebih mementingkan menjaga prosedur daripada mengindahkan hati nurani yang telah menjadi tirani.
Kepastian hukum seringkali berlaku, tetapi keadilan substantif tertinggal jauh, terlalu sering membutuhkan pengorbanan dan investasi yang signifikan untuk dicapai. Istilah saat ini adalah UUD" (Ujung-ujungnya Duit), memang, idealisme membutuhkan biaya. SEMUA ORANG MEMBUTUHKAN UANG!
Kecemasan Terhadap Hukum yang Telah Kehilangan Jiwanya
Dalam kecemasan ini, filsafat hukum telah menjadi ruang refleksi dalam diri saya. Ini bukan hanya tentang bertanya apa yang dikatakan hukum, tetapi mengapa hukum itu diciptakan dan untuk siapa hukum itu bekerja.
Prof. Juhaya S. Praja, seorang profesor hukum dan murid Mursyid Agung Pangersa Abah Anom Suryalaya KH Shohibul Wafa Tajul Arifin, mengingatkan kita bahwa hukum, khususnya dalam tradisi Islam, lahir dari upaya untuk memahami makna terdalam dari teks dan realitas kehidupan, bukan sekadar pembacaan teks yang kaku.
Di sinilah saya melihat bahwa krisis hukum di Indonesia bukan hanya krisis aturan, tetapi krisis tentang bagaimana berpikir tentang hukum itu sendiri. Hukum tampak kaku, terutama bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan materi. Sebaliknya, hukum bersifat fleksibel bagi mereka yang memiliki kemampuan materi.
Ilmu Hukum antara Teks, Akal, dan Nurani
Dalam filsafat hukum, terdapat berbagai mazhab yang memengaruhi cara manusia dalam memahami hukum: positivisme, normativisme, hingga naturalisme. Positivisme menekankan hukum sebagai fakta empiris dan perintah negara, dituntut untuk terus mengalami dan melakukan perubahan.
Pendekatan ini memang memberikan kepastian, tetapi sering kali mengabaikan nilai dan tujuan moral. Prof. Juhaya mengutip kecenderungan mazhab positivistik yang menolak aspek metafisik, nilai, dan tujuan, sehingga hukum direduksi menjadi sekadar apa yang tertulis dan dapat diamati.
Dalam konteks tersebut, mazhab normativisme hadir sebagai kritik terhadap reduksionisme positivistik. Mazhab ini memandang hukum bukan semata-mata fakta empiris yang dapat diamati, melainkan sebagai institusi nilai yang sarat dengan muatan etis dan moral. Hukum tidak hanya bertanya apa yang berlaku, tetapi juga apa yang seharusnya. (Dassein dan Dassolen)
Sebagaimana dikemukakan Prof. Juhaya S. Praja, normativisme menempatkan hukum sebagai sistem norma yang hidup dalam kesadaran masyarakat dan berfungsi membentuk serta mengarahkan perilaku individu maupun kolektif ke arah tujuan yang lebih baik.
Dalam perspektif ini, hukum berperan sebagai alat kontrol sosial (social control) yang mempengaruhi cara pandang, sikap, dan tindakan masyarakat, bukan sekadar sebagai instrumen pemaksa negara.
Oleh karena itu, efektivitas hukum tidak hanya diukur dari kepatuhan formal, tetapi juga dari sejauh mana hukum mencerminkan nilai keadilan yang diakui secara sosial.
Lebih jauh lagi, mazhab naturalisme atau hukum alam menempatkan hukum dalam relasi langsung dengan nilai-nilai transenden yang bersumber dari kodrat manusia dan, dalam tradisi teistik, dari Tuhan.
Mazhab ini meyakini bahwa hukum positif tidak berdiri di ruang hampa, melainkan harus tunduk pada prinsip-prinsip moral universal seperti keadilan, kemanusiaan, dan kebenaran.
Dalam pandangan hukum alam, suatu aturan dapat saja sah secara formal, tetapi tetap tidak adil secara moral. Di sinilah hukum alam berfungsi sebagai batu uji etik bagi hukum positif agar hukum positif tidak merusak ciptaan dari Allah SWT Tuhan Maha Esa.
Bagi Prof. Juhaya, pendekatan ini selaras dengan pandangan keagamaan yang melihat hukum sebagai bagian dari keteraturan ilahi, di mana relasi antara manusia, sesama manusia, dan alam semesta diatur secara menyeluruh. Dengan demikian, hukum tidak hanya mengatur perilaku lahiriah, tetapi juga menjaga harmoni batin dan moral masyarakat.
Sebaliknya, tradisi hukum Islam menawarkan metodologi yang jauh lebih holistik dan integratif. Melalui fikih dan ushul fikih, hukum dipahami sebagai hasil dialog dinamis antara wahyu, akal, dan realitas sosial.
Kisah Mu’adz bin Jabal saat diutus Rasulullah ke Yaman menjadi ilustrasi klasik tentang hierarki dan fleksibilitas penalaran hukum Islam: Al-Qur’an sebagai sumber utama, Sunnah sebagai penjelas, dan ijtihad rasional sebagai jalan ketika teks tidak memberikan jawaban eksplisit.
Bagi saya, kisah ini bukan sekadar sejarah hukum Islam, melainkan refleksi mendalam tentang keberanian intelektual dan tanggung jawab moral seorang penegak hukum. Hukum, dalam pengertian ini, tidak boleh berhenti pada teks tertulis semata, tetapi harus terus berdialog dengan konteks sosial, nurani kemanusiaan, dan akal sehat agar tetap relevan dan berkeadilan.
Hukum sebagai Cermin Jiwa Bangsa
Satjipto Rahardjo pernah menyatakan bahwa hukum adalah cermin jiwa bangsa. Kutipan Prof. Juhaya tentang perbedaan respons hukum antara negara Amerika dan negara Jepang dalam tragedi pesawat jatuh sangat menggugah hati nurani saya.
Di Amerika bergerak cepat mencari pihak yang salah, Jepang lebih dahulu meminta maaf dan memulihkan rasa kemanusiaan. Dua sistem hukum, dua watak bangsa bersepakat untuk kemajuan dan persatuan bangsa.
Berbeda jika di Indonesia, kita sedang berada di persimpangan jalan. Kita sering mengaku menjunjung nilai Pancasila, tetapi praktik hukum kita masih sangat legalistik dan prosedural.
Padahal, dalam pandangan hukum Islam yang dikemukakan Prof. Juhaya, hukum hadir untuk menjaga lima tujuan utama (maqashid al-syariah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika hukum tidak melindungi kelima hal ini, maka ia kehilangan legitimasi moralnya, meskipun sah secara formal.
Ketika Kepastian Mengalahkan Keadilan
Isu hukum di Indonesia saat ini menunjukkan gejala dominasi kepastian hukum yang kering nilai. Penegakan hukum pidana yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, kriminalisasi masyarakat kecil, serta hukum yang mudah dinegosiasikan oleh kekuasaan dan modal, adalah bukti bahwa hukum sering kehilangan orientasi etiknya dan filosofisnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat (Berduit) Indonesia.
Dalam konteks ini, saya melihat pentingnya menghidupkan kembali dimensi epistemologis dan aksiologis hukum. Prof. Juhaya menegaskan bahwa alat memperoleh pengetahuan bukan hanya akal dan empiris, tetapi juga hati (kalbu).
Ketika hukum hanya dibaca dengan logika formal, tanpa rasa dan empati, maka putusan hukum bisa sah, tetapi tidak adil. Di sinilah filsafat hukum berperan sebagai pengingat bahwa hukum adalah alat kemanusiaan, bukan sekadar mesin norma.
Cara mereparasi Kondisi Hukum di Indonesia
Menurut refleksi saya, memperbaiki hukum Indonesia tidak cukup dengan merevisi undang-undang. Yang lebih mendasar adalah memperbaiki cara berpikir para penegak hukumnya.
Pendidikan hukum harus keluar dari jebakan hafalan pasal dan mulai menanamkan kesadaran filosofis, etik, dan kemanusiaan. Mahasiswa hukum perlu diajak bertanya mengapa sebelum bagaimana.
Selain itu, hukum harus dikembalikan pada tujuan dasarnya. Dalam perspektif maqashid al-syariah yang dikutip Prof. Juhaya, hukum hadir untuk menjaga kehidupan, akal, dan martabat manusia.
Jika suatu aturan atau putusan justru melukai rasa keadilan sosial, maka keberanian untuk mengoreksi dan melakukan ijtihad hukum menjadi keharusan. Di sinilah hukum progresif, hukum bernurani, dan nilai religius dapat bertemu.
Cita-Cita untuk Masa Depan Hukum Indonesia
Sebagai mahasiswa Magister Hukum Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung, harapan saya sederhana tetapi mendasar dan substansial: hukum Indonesia ke depan tidak hanya kuat secara normatif, tetapi juga hidup secara moral. Hukum yang tidak hanya ditegakkan oleh palu hakim, tetapi juga dirasakan keadilannya oleh rakyat kecil.
Pemikiran Prof. Juhaya S. Praja memberi saya keyakinan bahwa hukum tidak harus memilih antara akal, nilai, dan iman. Ketiganya justru harus berjalan bersama.
Jika hukum Indonesia mampu mengintegrasikan rasionalitas modern, nilai kemanusiaan, dan kearifan spiritual, maka hukum tidak lagi menjadi alat kekuasaan, melainkan jalan menuju keadilan yang beradab.
Penulis: Setiawan Jodi Fakhar, S.H., CPM (Mahasiswa Magister Hukum Ekonomi Universitas Pasundan Bandung Tahun 2025)
Daftar Pustaka
Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum: Perbandingan antara Mazhab-Mazhab Barat dan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2014.
Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa, 2009.
Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas, 2007.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
Al-Ghazali. Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Fikr



Tidak ada komentar:
Posting Komentar