Politik Warung Kopi

serangtimur.co.id
Sabtu, Juni 08, 2019 | 20:11 WIB Last Updated 2019-06-10T16:25:14Z
Ketua PKC PMII Banten Ahmad Solahudin (Jayen Muhammad)


SERANGTIMUR.CO.ID - Sebagian besar orang sepakat kalau politik memang seni meraih dan menata kekuasaan melalui proses dialektika yang dimanis, kompleks, kadang rumit dipahami apalagi bagi awam semisal kita ini yang hanya mengenal politik saat gosip diwarung kopi, atau di pos - pos ronda atau mungkin nyadur dari pendapat para tokoh yang manggung di tivi.

Sebagai maklum, tidak mengapa mengerti setengah-setengah, walaupun tingkat pemahaman tidak komprehensip, setidaknya sedikit paham intisari dari semua adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat, menata kelola pemerintahan dengan kebijakan seadil - adilnya.

Sebagai awam, isi kepala kita sangat terbatas memahami konteks perpolitikan bangsa, tapi sebagai warga negara yang punya hak berpendapat, bolehlah menyampaikan perbincangan kita di warung kopi. Kalau menoleh ke belakang, dalam perjalanan perpolitikan di Indonesia, berbagai macam dinamika kerap terjadi, mulai dari pertautan ide, gesekan ideologi, saling tarik "kiri dan kanan" yang berujung pada gesekan sesama masyarakat.

Namanya juga politik itu dinamis, jangan heran kalau terjadi gesekan. Anggap saja sebagai proses pendewasaan menuju ke-ajegan perpolitikan dan demokrasi di negara yang amat kita cintai ini. Sebagai sarana menyalurkan sikap politik, baru saja kita usai melaksanakan hajat politik pada Pemilu 2019, walaupun tahapan kepemiluan belum sepenuhnya rampung hingga dilantiknya pemimpin terpilih secara sah.

Sebagai warga negara yang baik, kita telah menyalurkan kedaulatan politik di bilik suara dengan akal sehat juga konstitusional, memilih calon pemimpin secara Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber).

Tugas kita selanjutnya mengawal MK yang masih sibuk nindaklanjuti soal sengketa hasil pemilu, mentelaah laporan demi laporan sebagai dasar memutuskan suatu perkara yang adil dan objektif.

Menyoal Pemilu memang selalu menarik buat dibahas, karena dalam praktiknya dari momentum ke momentun selalu ditemukan perilaku "sebut saja oknum politisi" yang mencederai nilai demokrasi kita.

Misalnya money politik, ujaran kebencian, hoax, politisasi SARA hingga upaya pendelegitimasian hasil Pemilu membikin buram mata sebagian besar orang menilai politik.

Namun demikian, itu semua diyakini tidak menyurutkan optimisme bahwa demokrasi kita makin dewasa. Bahkan dunia internasional dan negara-negara sahabat kagum dengan demokrasi yang berjalan di Indonesia, kata Moeldoko, saat menyampaikan kesan ketika hadiri Open Government Partnership (OGP) Global Summit di Georgia.

Tapi klaim ini juga harus ditunjukan dengan partisipatif action dari semua pihak dalam mengawal proses demokrasi ini melalui politik education, civic education dimanapun ruangnya agar mata dan pikiran kita terbuka.

Terlebih bagi elit politik, sebagai subjek utama dalam menentukan arah dan budaya politik di bangsa kita. Sebab menilai luas dan dalamnya lautan tidak cukup hanya melihat dipesisir pantai bukan?

Literasi atau provokasi?

Literasi jelas penting buat bangun peradaban, tolak ukur keseriusan elit dalam membangun peradaban bangsa dilihat dari konsistensinya merawat dan mengembangkan khazanah literasi, tak terkecuali pada momentum politik.

Kompetisi politik bukan ajang saling melemahkan, tetapi adu gagasan objektif, menawarkan konsep paling rasional pada masyarakat juga mencerdaskan warga bangsa. Bukan tipu-tipu dengan jalan provokasi. Sekarang kita merasa agak adem dari ketakutan, sebut saja upaya people power yang tidak berdasar.

Kembali menyambung nafas tenang persatuan dari kekhawatiran yang begitu dramatis : perpecahan bangsa. Walaupun tetap saja dalam keadaan berkabung atas banyaknya korban nyawa baik dari penyelenggara Pemilu bahkan simpatisan calon presiden sampai mati saat aksi yang dianggapnya heroik pada 21-22 Mei 2019 itu.

Entah mengapa sebab, saya jadi ingat perkataan Ibnu Rusyd, "jika ingin menguasai orang bodoh, bungkus yang batil dengan agama". Perkara agama memang satu-satunya yang paling efektif dijadikan alat untuk tujuan tertentu, orang tidak berpikir panjang kalau sudah urusan bela agama.

Terlepas ibadahnya belang betong, kalau sudah urusan bela agama pasti paling depan sambil teriak "Allahu akbar" berharap jadi syahid.

"Perang" politik pada pemilu 2019 memang bikin payah juga resah. Payah menjaga stabilitas bangsa atas gesekan dikalangan bawah, resah dari ancaman pecah belah mengenai tameng agama.

Nyatanya jualan agama tetap jadi primadona dalam memobilisasi massa hingga berjilid-jilid, kalau agama sudah dijadikan tameng dalam perkara politik orang berbondong-bondong jatuh cinta, bukankah kalau sudah cinta siapapun rela mati-matian mengabdi tanpa bayaran?Salahnya saja dibela, apalagi benarnya.

Untuk itu, kita kudu intropeksi dan evaluasi bersama, supaya kedepan tidak terulang sedemikian proses politik yang merusak. Sebab demokrasi harus membahagiakan, bukan menakutkan. Soal people power yang sempat muncul pada wacana politik pasca pemilu serentak 2019, ini bernada provokatif, bukan literatif.

Pada umumnya, people power digunakan untuk meruntuhkan rezim yang berkuasa relatif terlalu lama, dianggap diktator, sewenang-wenang dan menyengsarakan rakyat. Sejarah memang mencatat serangkaian perlawanan disetiap fase kepemimpinan Indonesia yang berujung pada gerakan people power.

Kata Yusril, terdapat beberapa kasus people power semisal yang terjadi di Filipina dalam meruntuhkan kekuasaan presiden Ferdinand Marcos, dan people power dalam mendesakkan mundurnya presiden Soekarno (1966/1967), serta people power dalam mendesak untuk melengserkan presiden Soeharto (1998).

Marcos akhirnya meninggalkan Filipina menuju Guam, setelah gerakan masa yang terjadi berminggu-minggu lamanya di Metro Manila. Secara bertahap, presiden Soekarno juga dimundurkan dari kekuasaannya setelah insiden G-30 S, Soeharto pun akhirnya menyatakan berhenti sebagai presiden setelah lebih dari 30 tahun berkuasa.

Terlepas dari berbagai spekulasi atas polariasasi luar negri, baik Soekarno maupun Soeharto didesak untuk turun dari jabatannya melalui gerakan massa yang disebut sebagai people power.

Dari masa ke masa, karut marut perpolitikan bangsa ini seolah tak menemukan pangkal, transisi demokrasi cenderung berujung pada anarki musabab perilaku provokasi. Lalu bagaimana dengan sekarang, era reformasi yang serba transparansi dalam mengelola sistem pemerintahan, semua orang bebas mengemukakan pendapat dan proses demokrasi kita pada Pemilu 2019 ini sepenuhnya terbuka, masihkah relevan bicara people power? Jelas tidak.

Kita punya konstitusi sebagai landasan, masyarakat sudah cerdas menilai mana gerakan politik dan mana gerakan moral yang tanpa pretensi bicara soal kepentingan masyarakat banyak. Sekarang, saatnya kita kembali nikmati kopi, sambil berpikir dan ikhtiarkan masa depan yang cerah.

Wassalam...

Oleh: Jayen Muhammad
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Politik Warung Kopi

Tidak ada komentar:

Trending Now

Iklan