![]() |
| Dok. Tobi Setiawan |
Namun, di balik landscape gedung pabrik yang tampak menjanjikan, kenyataan di pasar tenaga kerja justru mengungkap paradoks pahit, tingkat pengangguran tetap tinggi, bahkan secara konsisten menempati peringkat atas di Provinsi Banten.
Bukan hal yang lazim bila daerah yang kaya akan industri justru dihantui oleh tingginya pengangguran, tetapi Serang membuktikan bahwa kemajuan industri tidak otomatis menghadirkan kesejahteraan bagi tenaga kerja lokal.
Data BPS Kabupaten Serang menjadi bukti konkret. Pada Agustus 2025, tingkat pengangguran terbuka tercatat sebesar 8,73 persen. Angka tersebut memang sedikit menurun dibanding tahun 2024 yang berada pada kisaran 9,18 persen, tetapi penurunan kecil ini tidak mengubah kenyataan bahwa Serang tetap menjadi salah satu wilayah dengan angka pengangguran tertinggi di Banten.
Ironisnya, terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja yang bekerja, namun sebagian besar terserap bukan di sektor industri, melainkan pada sektor informal dan pertanian.
Sekitar lebih dari setengah pekerja di Kabupaten Serang bergerak di sektor informal yang tidak memiliki jaminan upah, kepastian kontrak, ataupun perlindungan sosial yang memadai. Dengan kata lain, industrialisasi tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pekerjaan.
Kondisi ini menantang anggapan umum bahwa kehadiran industri besar pasti mampu menyerap tenaga kerja lokal. Namun fakta di lapangan berkata lain, bahwa banyak perusahaan yang berorientasi pada otomatisasi dan penggunaan mesin berteknologi tinggi.
Industri yang bersifat padat modal lebih mengandalkan peralatan dan sistem produksi mekanik dibanding tenaga manusia. Akibatnya, perekrutan tenaga kerja tidak sebanyak yang diimajinasikan masyarakat, meskipun nilai investasi terlihat besar.
Ini menjelaskan mengapa kawasan industri yang tampak sibuk belum tentu membutuhkan banyak pekerja, terutama mereka yang tidak memiliki keahlian teknis spesifik.
Tidak adanya relevansi antara pendidikan dan permintaan pasar kerja
Namun, persoalan tidak berhenti pada dampak otomasi. Salah satu akar tingginya pengangguran di Serang adalah ketidaksesuaian antara kemampuan tenaga kerja lokal dengan kebutuhan industri.
Banyak lulusan SMA atau sederajat yang ingin bekerja, tetapi tidak memiliki keterampilan teknis seperti pengelasan, operator mesin, kontrol kualitas, atau kelistrikan industri.
Kondisi ini semakin diperburuk oleh kurikulum sekolah yang tidak selaras dengan praktik di lapangan, serta minimnya sarana dan prasarana untuk praktik, padahal pengalaman tersebut merupakan modal awal untuk memasuki dunia kerja.
Industri manufaktur modern mensyaratkan kompetensi teknis, keahlian digital, hingga kemampuan bahasa tertentu. Sementara itu, sebagian besar pencari kerja lokal tidak memiliki akses terhadap pelatihan kejuruan yang relevan.
Akibatnya, perusahaan lebih memilih merekrut tenaga kerja dari luar daerah yang dianggap lebih terampil dan siap bekerja. Pada titik inilah muncul luka sosial yang sensitive. Pabrik berdiri di tanah Serang, tetapi warga lokal tidak menjadi prioritas dalam perekrutan.
Peningkatan jumlah pencari kerja setiap tahun tidak seimbang dengan ketersediaan lapangan kerja
Arus angkatan kerja baru terutama lulusan sekolah menengah yang masuk ke pasar kerja jauh lebih cepat dibanding pertumbuhan kesempatan kerja. Ketimpangan ini membuat persaingan semakin ketat, sementara ruang penyerapan tenaga kerja tidak berkembang memadai.
Masalah tersebut diperparah oleh praktik nepotisme dalam distribusi informasi lowongan kerja. Pemerintah daerah yang seharusnya menjadi penghubung antara perusahaan dan masyarakat justru sering hanya membagikan informasi pekerjaan kepada lingkaran kolega atau keluarganya sendiri.
Minimnya keterbukaan ini menciptakan ketidakmerataan akses kerja dan menyulitkan pencari kerja yang tidak memiliki relasi sosial atau kedekatan politik.
Ironisnya, di tengah tingginya angka pengangguran, pemerintah daerah masih sibuk membanggakan capaian investasi seolah itu menjadi indikator utama keberhasilan pembangunan ekonomi. Padahal, investasi besar tidak selalu berarti penyerapan tenaga kerja yang luas bagi masyarakat lokal.
Jika pembangunan industri hanya dikejar secara fisik tanpa perencanaan ketenagakerjaan yang sistematis, maka pertumbuhan ekonomi tidak akan berbanding lurus dengan penurunan pengangguran. Pabrik boleh tumbuh di berbagai kawasan, namun hal itu tidak otomatis memberi ruang pekerjaan yang layak bagi warga sekitar.
Paradoks ini memberi pelajaran penting bahwa pembangunan ekonomi tidak cukup bertumpu pada bangunan pabrik, kawasan industri, dan angka investasi.
Ketika pemerintah hanya mengejar simbol-simbol pertumbuhan tanpa berinvestasi pada peningkatan kemampuan manusia melalui pelatihan, pendidikan kejuruan, serta transparansi akses kerja maka hasilnya adalah kesenjangan baru: gedung pabrik untuk pemodal, sementara sektor informal menjadi tempat pelarian warga lokal.
Pada akhirnya, pertumbuhan industri tanpa keterlibatan tenaga kerja lokal hanya menciptakan pesta ekonomi yang meriah, tetapi tanpa kursi bagi mereka yang seharusnya menjadi tamu utama.
Lalu apa yang seharusnya di lakukan ?
Pada akhirnya, keberhasilan industrialisasi di Kabupaten Serang tidak cukup diukur dari jumlah pabrik yang berdiri maupun besarnya nilai investasi yang dibanggakan pemerintah. Pembangunan fisik hanya menjadi simbol semu jika tidak diiringi dengan kebijakan ketenagakerjaan yang memastikan masyarakat lokal terlibat dan memperoleh manfaat nyata.
Oleh sebab itu, pelatihan vokasi yang relevan dengan kebutuhan industri, kemitraan sekolah kejuruan dengan perusahaan, serta penyediaan data kebutuhan tenaga kerja harus berjalan sebagai satu kesatuan strategi.
Namun, peningkatan kompetensi saja tidak akan berarti bila pasar kerja tetap tertutup oleh praktik nepotisme dan minim transparansi. Maka, pemerintah daerah harus menegakkan mekanisme perekrutan yang terbuka melalui portal informasi kerja resmi serta mendorong industri memberikan kuota wajib bagi tenaga kerja lokal.
Kebijakan ini dapat diperkuat dengan insentif bagi perusahaan yang benar-benar menyerap tenaga kerja warga Serang, sekaligus sanksi bagi yang hanya menikmati fasilitas daerah tanpa memberi kontribusi sosial.
Selain itu, pengembangan UMKM penunjang industri dan kolaborasi riset dengan lembaga pendidikan akan memperluas kesempatan kerja di sektor pendukung, bukan hanya di dalam pabrik.
Dengan langkah yang lebih komprehensif tersebut, industrialisasi tidak akan berubah menjadi menara beton asing yang berdiri megah di tengah masyarakat yang tetap kesulitan mencari pekerjaan.
Pembangunan sejati adalah pembangunan yang menempatkan manusia sebagai pelaku utama, bukan sekadar penonton di rumahnya sendiri.
Jika Kabupaten Serang ingin disebut maju, maka kemajuannya harus tercermin dari martabat warganya yang memiliki keterampilan, akses kerja yang adil, serta posisi yang setara dalam roda produksi. Hanya dengan itulah industri benar-benar menjadi mesin kesejahteraan, bukan sekadar etalase pertumbuhan.
Jika industrialisasi tidak berpihak pada warga lokal, maka pembangunan di Kabupaten Serang bukan kemajuan, melainkan pengkhianatan terhadap rakyatnya sendiri.
Penulis: Tobi Setiawan Mahasiwa Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang Kota Serang.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar