Serang Utara Dalam Sorotan

serangtimur.co.id
Selasa, Oktober 15, 2019 | 22:33 WIB Last Updated 2019-10-15T15:33:34Z


Oleh : Hifdi Ridho S. Fil. I, MA
Direktur Ciujung Institute, Dosen Uin Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Pancasila Depok

Sepertinya, dari dulu hingga sekarang dinamika pergerakan masyarakat, pemuda dan mahasiswa yang terjadi di serang utara,tak pernah sepi dari sorotan kabupaten, kota dan pusat. Segala jargon dan labeling tlah disematkan untuk serang utara, termasuk labeling atau istilah asam pedas yang baru - baru ini dimunculkan sebagai gerakan aksi masa terkait dengan normalisasi Ciujung lama sedang berlangsung.

Alih-alih pemuda dan mahasiswa sebagai subjek pergerakan adalah bentuk eksitensi yang tak pernah sepi dari dinamika pemikiran, idalisme dan misinya sebagai agen of change ditengah masyarakat serang utara.

Normalisasi yang hari ini berlangsung di kali ciujung lama, adalah merupakan perjuangan panjang yang sudah lama di advokasi oleh kalangan mahasiswa, pemuda, dan masyarakat setempat dan dengan segala elan vitalnya bergerak tanpa tampa mengenal lelah.

Sebagai Mandataris Menjaga Amanah

Menterjemahkan mandat dari masyarakat dan elit pemerintah tidaklah mudah. Ada tiga hal penting  setidaknya, sebagai soko guru dalam perjuangan hari ini untuk kita menej dan kita jaga.

Pertama, tentang kepercayaan yang diberikan masyarakat pada kita.Ini paktor paling penting dan krusial dalam menjaga kepentingan masyarakat serta garis lurus perjuangan kita.

Kita dituntut akan selalu memiliki sikap komitmen. Kepercayaan secara etimologis, asal usul dari kata ‘ per-caya, atau asal dari kata cahaya, seberkas sinar DR. Yudi Latif dalam bukunya, Makrifat Pagi : Percik Embun Spiritualitas di Terik Republik memberikan ilutrasi indah dengan pengaturan diksi yang memukau terhadap pembacanya, terkait tentang pengertian kepercayaan atau sinonim - nya dengan kata keyakinan.

Kepercayaan kalau kembali pada akar kata, dari kata cahaya, artinya adalah ketika seseorang diberikan kepercayaan oleh orang lain, maka orang yang diberikan amanah sebagai mandataris itu haruslah dijaga, dengan harapan dia mampu memberikan daya terangnya terhadap amanah pada dirinya yang pada akhirnya memantulkan cahaya kejujuran sebagai cermin yang memantul indah.

Jika kita ditengah masyarakat, elit dan perkawanan organ kehilangan kepercayaan dan uji konsitensinya terhadapa kepercayaan yang diberikan kepada kita, maka sulit untuk diajak melakukan perubahan-perubahan secara bersama masyarakat.

Kepercayaan dan konsitensi sejatinya adalah sikap manusia setengah dewa dan modal penting dalam mengusung perubahan fisik dan mental budaya masyarakat dalam pengertian yang sejati. Karna kerpercayaan adalah pantulan dari diri kita yang memberikan cahaya terang pada jiwa-jiwa orang lain sebagai cermin-nya.

Kedua, memupuk harapan bersama, ini akan menjadi variabel penting mana kala kita mampuh mengaktulisasikan dalam laku nyata, konsisten pada perbaikan nyata dari sebuah subjek individual, atau komunal secara terus menerus diaktualisaika harapan itu, sampai perjuangan besar dan luhur itu selesai.

Kepercayaan masyakarat yang kita pegang teguh,harapan yang kita jaga adalah daya dorong kohesif yang membuat masyarakat, elit pemerintah dan perkawanan organ akan tetap berada dibarisan perjuangan.

Kepercayaan dan harapan adalah daya dobrak juga, untuk merobohkan segala hegemoni dan alam pikiran tiranis yang sewaktu - waktu mucul.

Ketiga, pentingnya partisipasi masyarakat dalam menyongsong perubahan fisik dan mutasi mental masyarakat - Mex weber (1864) tokoh sosiologi modrn tentang teori perubahan dan perilaku socialnya mengatakan bahwa, pada dasarnya seorang individu atau masyarakat itu baik, rasional, sadar akan kepentingannya dan mengerti apa yang diperjuangannya, rasionebel.

Walaupun kepentingan masing-masing individual berbeda-beda tapi itu bisa didialogkan. Individu pada dasarnya adalah 'the ultimate entity' artinya mahluk yang wajib dihormati.

"Nah, masyarakat sebagai objek yang menjadi sasaran perubahan besar itu, akan bergantung pada subjek pemimpin yang diberikan otoritasi penuh oleh masyarakat dan elit, baik otoritasi legal formal, maupun tradisonal karsimatik," kata Weber.

Kepemimpinan Propetik bukan Egosentrik

Gambaran sebuah gagasan perubahan social dan kepemimpinan diatas, memiliki arti penting secara filosofi, terkait dengan pandangan weber terhadap perilaku individu dan masyarakat dalam kontek sosiologinya, harus mampuh menangkap arti makna  'Meaning' paling terdalam, subsatantif dari sebuah perubahan itu.

Itu sebabnya sebuah perubahan social yang nota bene-nya symbol kepentingan dan keamuan bersama harus mencapai kontrak (kesepakatan, kesepahaman) bersama, didialogkan terus menerus baik individu dengan individu atau organ, kelompok dengan klompok, atau elit dengan organ.

Apa yang disepakati? ialah norma dan nilai filosofis teologis menjadi ukuran yang terpenting dari segalanya. Kepemimpinan yang menangkap semangat era melenial atau kekinian, harus menyentuh elemen masyarakat, elit serta mampu menggerakan semua orang, menuju arah perubahan yang diharapkan, dicita-citakan bersama.

Model pemimpin sperti itu, memiliki nilai etis filosofis. Dengan demikian ia akan mampu bekerja sama dengan siapapun tanpa harus mengedepankan egosentrisnya sendiri - Filosof muslim dari anak Benua India, Sir Muhammad Iqbal telah lama menyuarkan tentang eksitesialismenya yang sejati mengatakan, Esitensialisme yang sejati adalah meleburkan egonya kedalam suasana 'ke kita-an 'bukan' ke aku-an Eksitensialisme teologis Iqbal, mampu kluar dari sarang dan sekam egosentrik yang beku.

Untuk itu kesadaran ego yang rumuskan Iqbal harus mencair, terkoneksi dengan kesadaran yang lainnya, dalam bentuk kehidupan orang lain, keterlibatan ego dari pernik-pernik perbedaan eksitensi - eksitensi sehari-hari menuju eksitensi kosmik yang lebih luas.

Dalam keluasan ego yang membentuk kesadaran besar, manusia dengan spiritulanya akan saling ketergantungan pada yang lain-nya menjadi hal niscaya. Kesatuan tidak bisa terjadi tampa perbedaan. Tugas kita adalah merajutnya untuk menjadi gaun yang indah nan anggun. Ego yang besar membutuhkan ruang dan rumah yang besar pula.

Seperti keluasan semesta langit yang memberi ruang bagi matahari, bulan, bintang, galaksi untuk bersinar, bertengger dilengkung langit. Kepemimpinan etis teologis akan membentuk kesadaran pada dirinya, agar tetap menghimbau pada dirinya, menyerukan jangan sampai ada ‘ matinya subjek kesadaran dirinya.

Tetapi sebaliknya ia akan kuat dan kokoh, selalu menyuarkan moral dan motivasinya pada masyarakat dan elitnya. Kepemimpinan model itu, ia akan memberikan komitmen, kepatuhan pada ego pribadinya agar tetap selalu menahan dirinya berpuasa dari kepentingan, dari godaan dalam bentuk hadia dan manfaat fergamtis.

Demi untuk merawat fitrah kebijakan etis teologis dari pengaruh lingkungan dan perubahan baik buruknya dimasayarakat. Terhimbau akan keinsyafan akan tanggung jawab hamba (pemimpin) pada diri dan Sang khaliknya.

Seperti sabda Nabi Muhammad SAW, "setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin pasti dituntut pertanggungjawaban atas tugasnya sebagai pemimpin" Tanggung jawab dalam pengertian etis teologis ialah seorang pemimpin (hamba) bukan saja bertanggungjawab terhadap orang lain, tetapi juga, dituntut pada dirinya sendiri, mengasah egonya sendiri lewat kesiapan saling gosok antara manusia agar menemukan ketajaman nuari agama untuk menciptakan pedang berlian yang berkilauan.

Cetak Biru Serang Utara

Pesan yang kita tangkap dari elit yang ingin merealiasikan agenda-agenda kerja dan jangji politiknya sudah di blue Prin (dicetak biru) untuk Serang Utara, baik terkait dengan normalisasi, wisata religious, dan Nawawi Senter adalah menjadi bagian dari mimpi masyarakat serang utara dimasa kini dan masa yang akan datang.

Ditengah gegap kebita pembangunan normalisasi dengan agenda bertahap itu, tentu saja tidak sepi dari dinamika masyarakat serang utara. Untuk itu saya sebagai penulis juga sebagai wakil dari kalangan intelektual muda, santri, mahasiswa dan masyarakat, ingin menyampaikan pesan mendalam terhadap siapapun yang melihat peroses pembangunan di Serang Utara ini.

Pertama, mendukung penuh peroses pembanguanan normalisasi yang dicanangakan pemerinta daerah dan pusat itu, dimana posisi ideal masyarakat dan gerakan pemuda, mahasiswa dilakukan secara dialogis dan konseptual yaitu menawarkan agenda dan konsepnya yang meng- imajinasian gagasanya bervisi kedepan dan punya maslahat yang panjang.

Kedua, menyampaikan sesuatu yang hak, benar pada pemangku elit kebijakan dengan penyampaian yang kontruktif, metodelogis. Artinya bahwa kita sebagai individu dan kelompok yang mewakili masyarakat bawah yang tersentuh pembangunan harus dipikirkan nasib dan kondisinya, baik hari ini ataupun dimasa depannya.

Menakar Nasib Masyarakat

Mex Weber mengatakan, sebuah perubahan social akan bergantung pada subjek terkecil yang dinamakan manusia sebagai individu yang berada dilingkaran masyarakat kompleks.

Itu sebabnya kita tidak cukup menangkap pesan dari sebuah objek pembangunan itu secara fisik matrial semata, tetapi melihat pembangunan masyarakat itu harus disoroti secara keseluruhannya.

Paling tidak, harus bisa memahami dan memaknai, tidak sekedar mengerti saja (?)-Manusia itu sebuah subjek yang unik, mandiri dan dinamis. Kalau manusia dipahami sebagai subjek pundamental dari sebuah peroses pembangunan maka manusia harus ditempatkan pada mutu kelayakan sebagai manusia.

Manusia memiliki cita-cita, kehidupan dan masadepannya yang panjang dan terencana.Karna itu, kita harus memberhatikan dan memperjuangan nasib masa depannya yang masih panjang itu agar tetap hidup dengan daya evolutif dan tetap survaew- dalam menjaga ancaman dari dalam dan luar, dan ini adalah tantangan zaman kita.

Berhenti Memberi Kompensasi

Kalau kita kembali pada history bangsa Indonesia, sejak kapan pemerintah mengaku pemilik syah sebuah tanah dan bumi (?) Bukankah rakyat yang berdarah-darah merebut tanah tumpah darah Indonesia dari tangan besi Belanda?.

Seharusnya secara moril etis tanah dan bumi harus dikuasai, dikembalikan lagi sepenuhnya oleh rakyat Indonesia bukan pemerintah yang hanya menjadi bagian dari masyarakat elit yang terpilih secara demokrasi semata.

Apakah dengan sisitem demokrasi itu, alih-alih menghapus history perjuangan rakayat Indonesia? Siapakah yang merekayasa secara sistematis dan inteluktulis ini, apa kerja sebuah orde baru, orde lama atau kerjaan rezim semata?

Pesan dialietis historis diatas lalu dihubungkan dengan,apa yang kita tangkap, dari gejolak masarakat yang terdampak pada proses normalisai sampai gelombang aksi dari kalangan pergerakan mahasiswa harus menjadi renungan bersama.

Mari kita berhenti memberikan konpensasi pada warga yang terdampak atau masyarakat pemilik lahan disepanjang bantaran sungai, tetapi kita harus berpikir bagaimana masyarakat dan warga diberikan peluang partisipasi yang mewah dari wujud kesepakatan bersama antara deplover dan pemilik tanah agar tejadi sinergi pembangunan dan menghilangkan kekisruhan akibat ketidak adilan dan ketidak puasan warga masyarakat.

Arti Penting Budayakan Agama

Membudayakan agama, harus dipahami sebagai sikap berpikir dan berperilaku sebagai standar keluhuran, citra paripurna sebagai insan.Gairah agama harus juga dimakani sebagai bentuk responsnya pada peradaban hidup manusia yang dikaitkan dengan kualitas spiritulitasnya.

Arnold Tonynbee sejarawan terkemuka dalam bukunya, "A Study of History" melakukan penelitian mendalam terhadap kebangitan dan kejatuhan suatu bangsa dan peradabannya, pada setiap kasus Toynbee mengkaitkan disinegrasi peradaban dengan peroses melemahnya visi spiritual ke agamaan.

Singkat kata banguan sebuah bangsa dan peradabanya, tampa disertakan landasan transenden (metafisika, agama) di ibaratkan bangunan pasir ditepi laut. Study Toynbee tersebut memiliki pesan, bahwa nilai-nilai transenden, metafisika, agama sangat erat hubungnanya dengan kemajuan bangsa, masyarakat dan bangunan peradabannya.

Itu sebabnya keritik Machiavelli menanadi bahwa,korupsi,ketidak jujuran, miskin, minimnya wawasan tentang kebersihan dan lingungan, etika (akhlak) dan estetika (keindahan) disebabkan kemalasan agama yang berujung pada sulitnya membentuk kesalihan social.

Dalam pengertian yang lebih lugas adalah dimana penghayatan agama hanya pada aspek formal dan ritual semata, tanpa berusaha meningkatkan diri pada esensi ajaran yang memberikan semangat kemajuan.

Kita hanya berlomba-lomba mempercantik bangunan suci, daripada berusaha meciptakan kesejahtraan bersama. Modus semangat keagaman yang hanya aspek formalitas itu hanya membuat orang tak bisa menciptakan kesalihan social, yang hanya mengantarkan masyarakat pada sasarat empuk hegemoni ekonomi, uang, politik dan pemodal.

Ahirnya penulis mengatakan bahwa, perubaham social,ekonomi, politik, harus berbasis pada membudayakan agama dalam arti membentuk kepercayaan paling dalam dari apa yang dipungsikan untuk menolong manusia dari kerisi kebahagiannya.

Untuk itu hadirnya budaya agama ditengah tatanan kebudayaan kota dan desa seharusnya mampu hadir sebagai upaya manusia untuk menyuburkan kesucian, kasih sayang, dan perawatan pada alam semsta yang sejatinya ialah goresan jejak-jejak ilahi, dimana Tuhan ada didalamnya.

Jangan lagi agama dijadikan biang keladi dari pemeluknya untuk menciptakan kemalasan, rasa putus asa, tidak ada cinta dan kasih sayang,kekerasan, caci maki sebagai perbuatan heroik. Jika begitu agama menjadi krisis.

(****)

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Serang Utara Dalam Sorotan

Tidak ada komentar:

Trending Now

Iklan