Soal Polemik Kasus Indosurya, Ini Penjelasan Pakar Hukum Pidana Dr. Dwi Seno Wijanarko

serangtimur.co.id
Selasa, Juni 01, 2021 | 10:05 WIB Last Updated 2021-06-01T03:07:55Z
Dok. Pakar Hukum Pidana Universitas Bhayangkara Jakarta Dr. Dwi Seno Wijanarko

JAKARTA | Sebelumnya Helmi mengatakan, penyidik berhati-hati dalam menangani kasus Indosurya. Hal tersebut lantaran ada sejumlah aspek yang mesti diperhatikan dalam proses penyidikannya. 


Sejauh ini, tim masih melakukan pemeriksaan tambahan terhadap saksi-saksi maupun keterangan saksi ahli. Penyidik juga harus mengakomodir korban-korban lain yang baru mengadukan Indosurya saat kasus tersebut sudah dalam proses penanganan Bareskrim Polri. 


"Ini juga membutuhkan waktu karena perlu penyitaan ribuan dokumen," ujar dia beberapa waktu lalu.


Dalam proses penyidikan nyatanya salah satu dari tiga tersangka mengajukan bukti baru.


"Tersangka Henry Surya mengajukan bukti baru berupa putusan perjanjian perdamaian (homologasi) atas gugatan PKPU," kata Helmi. 


Dalam kasus ini, tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka perkara Indosurya. Mereka adalah Ketua KSP Indosurya Henry Surya, Manager Direktur Koperasi Suwito Ayub, dan Head Admin June Indria. Selain itu, polisi juga menetapkan KSP Indosurya sebagai tersangka korporasi. 


Pada Juli 2020, hakim Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat memutus pengesahan homologasi perkara penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) antara Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya Cipta dengan para kreditur.


Helmi menyebut, pihaknya memperhatikan setiap aturan hukum agar tidak salah dalam proses administrasi penyidikan. 


"Termasuk putusan PN Jakpus tentang PKPU yang harus diikuti meski dikesankan bahwa penyidikan berjalan lamban namun sebenarnya masih on the track," ujarnya. 


Kasus kejahatan investasi dengan homologasi atas gugatan PKPU sendiri tidak hanya terjadi di kasus Indosurya. Hanya saja, penanganannya terkesan lambat lantaran banyak faktor. 


"Jika kami mengunakan kacamata kuda, maka kasus ini sudah selesai dari dulu karena tersangka ada, korban ada, barang bukti ada dan saksi ada. Namun penyidik juga harus mempertimbangkan kemanfaatan hukum dan mekanisme hukum lainnya, di mana banyak korban yang mengharap kerugiannya dikembalikan begitu juga dengan adanya PKPU, sehingga penanganannya terkesan menjadi lambat," sebut Helmi. 


Adapun konsep penanganan terhadap perkara-perkara serupa dipastikan tidak berbeda satu dengan lainnya. Di mana kepentingan masyarakat atau korban yang lebih banyak akan lebih diutamakan. Seperti kasus investasi Asuransi Kresna, PT Jouska, Pikasa Group, Indosterling dan sejumlah kasus lainnya. 


Untuk poses penyidikan kasus Indosurya, masih tetap berjalan dan sudah ada ratusan orang yang telah diperiksa penyidik.


"Dan Kami tentunya berkomitmen untuk menuntaskan kasus ini," Helmi menandaskan.


Menanggapi pernyataan dari Polri, seorang Pakar Hukum Pidana dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Dr. Dwi Seno Wijanarko, S.H., M.H., CPCLE berpendapat berbeda dengan pihak Polri, menurutnya ada yang keliru dengan penerapan Homologasi dalam ranah pidana.


"Yang harus saya luruskan disini adalah Ranah pidana merupakan klasifikasi yang berbeda perdata khususnya PKPU, dalam pidana Jika pemberkasan sudah selesai, maka wajib di limpahkan ke kejaksaan untuk di teliti," ujar Dwi Seno melalui siaran persnya, Selasa (1/6/2021).


Menurut Seno, banyak pendapat seolah-olah 'apabila ada homologasi PKPU' lalu perkara pidana bisa berhenti, padahal hal itu keliru. Pengesahan perdamaian (homologasi) pada pkpu itu hanya baru sebatas janji penjadwalan /restrukturisasi utang, bukan pemulihan hak-hak korban.


Penyidik banyak yang tidak paham, hanya paham kata "damai" "86", padahal hak hak korban harus dipenuhi dulu atau dipulihkan dulu baru bisa masuk kategori restoratif justice atau perdamaian dalam arti yang sebenarnya. 


Frasa "perdamaian" lanjut Seno, dalam Undang-undang kepailitan dan PKPU sebaiknya diganti dengan frasa yang lebih tepat merujuk pada arti sebenarnya yaitu Restrukturisasi Utang atau penjadwalan ulang pembayaran utang.


"Jika frasa "perdamaiaan" tetap digunakan, maka bisa membuat rancu di benak penyidik. Jujur saja penyidik itu banyak yang tidak paham soal pkpu dan semau maunya menafsirkan sendiri," katanya.


Kemudian apa hubungannya tersangka mengajukan bukti baru berupa putusan homologasi dengan proses penanganan perkara pidananya ? mungkin saja yg menghubungkan putusan homologasi PKPU dengan proses hukum pidana itu dulunya belajar teori keadilannya berdasarkan Teori keadilan SH (Soekarno Hatta).


"Penyidik harus dapat menerapkan perwujudan hukum yang memenuhi aspek kemanfaatan hukum, kepastian hukum dan keadilan," tandasnya.


Jika penyidik berdalih mempertimbangankan kemanfaatan hukum dan mekanisme hukum lainnya agar hak para korban dapat diberikan sebagaimana yang di harapkan maka restorative justice yang sebenarnya lah yang bisa diterapkan dengan terpenuhinya hak hak korban.


"Bukan perdamaian versi homologasi," jelas Dr. Seno.


(*/Redaksi)

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Soal Polemik Kasus Indosurya, Ini Penjelasan Pakar Hukum Pidana Dr. Dwi Seno Wijanarko

Tidak ada komentar:

Trending Now

Iklan