Oleh Tobi Setiawan
SERANG | Pemerintah telah menggulirkan program besar bertajuk Koperasi Merah Putih yang akan dibentuk di seluruh desa dan kelurahan di Indonesia.
Dengan narasi yang megah “memberdayakan ekonomi desa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat dari lapisan paling bawah” program ini tampak seperti terobosan ideal dalam membangun ekonomi rakyat.
Namun, di balik jargon pemberdayaan itu, muncul tanda tanya besar: apakah program ini benar-benar untuk rakyat, atau justru akan menjadi proyek politik baru yang dikemas dalam semangat nasionalisme ekonomi?
Di atas kertas, konsep Koperasi Merah Putih memang terlihat sempurna. Ia menggabungkan nilai-nilai gotong royong, ekonomi rakyat, dan kemandirian lokal.
Namun, ketika diterjemahkan ke dalam kebijakan, niat baik ini tersandung oleh masalah klasik: sentralisasi, lemahnya otonomi, serta potensi penyimpangan keuangan.
Banyak praktisi hukum, ekonom, dan pengamat tata kelola menilai program ini terlalu ambisius, top-down, dan rawan tumpang tindih dengan lembaga ekonomi desa yang sudah ada seperti BUMDes atau koperasi lokal yang telah berjalan.
Dari Pemberdayaan ke Pengendalian
Masalah paling mendasar terletak pada desain program yang sentralistik.
Padahal, koperasi sejatinya lahir dari semangat bottom-up, tumbuh dari kesadaran dan kebutuhan anggota secara sukarela.
Hal ini jelas ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yang mendefinisikan koperasi sebagai badan usaha milik bersama, bukan lembaga bentukan negara.
Namun, Koperasi Merah Putih justru disusun secara top-down, seragam untuk puluhan ribu desa di Indonesia, dengan pedoman dan struktur yang ditentukan dari pusat.
Pendekatan ini ironis: pemerintah menggaungkan kemandirian desa, tetapi pada saat yang sama mengekang ruang gerak desa untuk mengelola dirinya sendiri.
Model seperti ini bukan hal baru. Ia mengingatkan kita pada pola Koperasi Unit Desa (KUD) di era Orde Baru yang alih-alih menjadi motor ekonomi rakyat, justru berperan sebagai alat kontrol birokrasi dan saluran kebijakan ekonomi politik pusat.
Bedanya, kini dikemas dengan nama dan semangat baru: “Merah Putih”.
Kemandirian Desa yang Terkikis Koperasi sejatinya menjadi simbol kebersamaan dan kemandirian ekonomi.
Namun, ketika pemerintah terlalu jauh ikut campur dalam pembentukan, pengelolaan, bahkan pengawasan koperasi, maka nilai dasar itu runtuh.
Desa kehilangan hak menentukan arah ekonominya sendiri.
Setiap desa memiliki potensi unik: ada yang kuat di sektor pertanian, ada yang unggul di wisata, ada pula yang bertumpu pada industri kreatif.
Menyeragamkan koperasi untuk semua wilayah berarti mengabaikan keragaman potensi lokal yang seharusnya menjadi kekuatan utama ekonomi desa.
Lebih parah lagi, ketika birokrasi masuk terlalu dalam, koperasi bisa kehilangan ruhnya sebagai lembaga rakyat dan berubah menjadi sekadar proyek administratif.
Maka wajar jika sebagian kalangan memandang program ini bukan sebagai upaya pemberdayaan, melainkan pengendalian ekonomi rakyat dalam bungkus nasionalisme simbolik.
Risiko Keuangan dan Potensi Korupsi
Masalah lain yang tak bisa diabaikan adalah risiko keuangan dan potensi penyimpangan.
Dengan target pembentukan koperasi di seluruh desa dan aliran dana yang besar, pertanyaan krusial muncul: siapa yang memastikan transparansi dan akuntabilitasnya?
Tanpa sistem pengawasan yang kuat dan independen, dana koperasi bisa menjadi ladang subur bagi praktik korupsi, mark-up, atau penyalahgunaan wewenang.
Jika pengurus koperasi dipilih bukan karena integritas dan kapasitas, melainkan kedekatan politik dan koneksi keluarga, maka koperasi akan mudah diseret ke kepentingan jangka pendek.
Program yang seharusnya menumbuhkan kepercayaan ekonomi rakyat justru bisa menambah daftar panjang kegagalan proyek populis.
Antara Simbol dan Substansi
Nama “Merah Putih” jelas dipilih untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan solidaritas kebangsaan.
Namun, koperasi bukan soal simbol, melainkan soal substansi ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Koperasi yang berhasil bukan yang paling banyak jumlahnya, tetapi yang paling kuat manajemennya, paling tinggi partisipasi anggotanya, dan paling mandiri dari intervensi politik.
Pemerintah seharusnya belajar dari berbagai contoh sukses koperasi di daerah yang tumbuh secara organik, tanpa tekanan birokrasi.
Mereka hidup dari kepercayaan, bukan dari perintah. Mereka maju karena partisipasi, bukan karena proyek.
Rekomendasi dan Harapan
Jika pemerintah benar-benar ingin menjadikan koperasi sebagai instrumen pemerataan ekonomi, maka prinsip dasarnya harus dikembalikan ke jalur yang benar:
1. Berikan otonomi penuh kepada desa untuk membentuk dan mengelola koperasinya.
2. Hentikan pendekatan seragam dan birokratis. Biarkan koperasi tumbuh sesuai kebutuhan dan potensi lokal.
3. Bangun sistem pengawasan yang transparan dan partisipatif. Libatkan masyarakat sipil dan lembaga independen dalam audit publik.
4. Fokus pada pendidikan dan pendampingan ekonomi. Koperasi yang kuat lahir dari pengetahuan dan kesadaran, bukan dari instruksi.
Koperasi Merah Putih bisa menjadi tonggak baru ekonomi desa atau justru menjadi pengulangan kegagalan masa lalu.
Semuanya bergantung pada keberanian pemerintah untuk memilih: apakah ingin memberdayakan rakyat, atau sekadar mengendalikan mereka atas nama rakyat.
Sebab, di negeri ini, niat baik bukan jaminan hasil baik. Terlalu sering, kebijakan yang lahir dari semangat mulia justru tersesat karena dikunci oleh logika kekuasaan.
Dan mungkin, di situlah ujian sejati bagi Koperasi Merah Putih antara menjadi simbol kebangkitan, atau sekadar slogan yang kehilangan makna.
Penulis adalah Mahasiwa Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang Serang, Prodi Ilmu Pemerintahan.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar