Lahan Kritis di Kabupaten Serang: Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?

Ansori S
Sabtu, Desember 27, 2025 | 10:47 WIB Last Updated 2025-12-27T03:48:45Z
Aktivitas tambang batu gunung di Kec. Pulo Ampel
SERANG | Lebih dari 21 ribu hektare lahan di Kabupaten Serang kini berada dalam kondisi kritis dan sangat kritis. Angka ini bukan kecil, bahkan mencakup hampir 15 persen dari total wilayah kabupaten.


Data resmi dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Serang seharusnya cukup untuk membunyikan alarm keras bagi semua pihak. Namun, pertanyaan pentingnya bukan sekadar soal luas kerusakan, melainkan mengapa kerusakan sebesar ini bisa terjadi dan terus dibiarkan.


Jika degradasi lahan terjadi secara sporadis, mungkin masih bisa disebut kecelakaan pembangunan. Tetapi ketika kerusakan berlangsung luas, lama, dan berulang di lokasi yang sama, sulit untuk tidak melihatnya sebagai sebuah pola. Pola yang disengaja, atau setidaknya dianggap wajar dan dapat ditoleransi.


DLH Kabupaten Serang mencatat lahan kritis mencapai 8.443,9 hektare atau 5,75 persen, sementara lahan sangat kritis mencapai 12.727,39 hektare atau 8,69 persen dari total wilayah.


Kerusakan paling parah tersebar di Puloampel, Bojonegara, Waringinkurung, Mancak, Padarincang, dan Cinangka, wilayah yang sejak lama identik dengan aktivitas pertambangan dan eksploitasi sumber daya alam.


Bahkan, Sekretaris DLH Kabupaten Serang secara terbuka mengakui bahwa penambangan batuan gunung dan pemanfaatan kayu yang berlebihan menjadi penyebab utama memburuknya kondisi lahan, sebagaimana dikutip Kabar Banten.


Pengakuan tersebut seharusnya menjadi titik balik dalam tata kelola lingkungan daerah. Sayangnya, hingga kini pengakuan itu belum benar-benar diikuti oleh langkah korektif yang tegas.


Aktivitas pertambangan tetap berjalan, reklamasi sering kali hanya formalitas administratif, dan masyarakat sekitar terus hidup berdampingan dengan risiko ekologis yang nyata.


Di titik ini, wajar jika publik mulai bertanya: apakah kerusakan lingkungan memang dianggap sebagai harga yang sah demi “pembangunan”? Dan jika iya, pembangunan untuk siapa sebenarnya?


Ketika Kerusakan Dibayar dengan Bencana


Dampak lahan kritis tidak bisa disamarkan dengan jargon investasi dan pertumbuhan ekonomi. Ketika tanah kehilangan daya serap air, banjir dan longsor bukan lagi kemungkinan, melainkan rutinitas musiman.


Puloampel, Padarincang, dan Mancak bukan sekadar nama kecamatan, tetapi contoh wilayah yang setiap musim hujan harus bersiap menghadapi risiko akibat rusaknya bentang alam.


Sebaliknya, saat musim kemarau tiba, persoalan berbalik arah. Cadangan air tanah menipis, sumber air mengering, dan krisis air bersih menghantui warga. Polanya selalu sama: kerusakan lingkungan dibayar dengan bencana, dan yang membayar bukan pelaku usaha, melainkan masyarakat biasa.


Ketimpangan di Daerah Kaya Sumber Daya


Dari sisi ekonomi, lahan kritis justru memperlebar jurang ketimpangan. Petani kehilangan kesuburan tanah, hasil panen menurun, dan biaya produksi meningkat. 


Sementara itu, keuntungan dari aktivitas tambang  hanya mengalir pada segelintir pihak saja. Inilah paradoks pembangunan klasik: daerah kaya sumber daya, tetapi masyarakatnya menanggung kerugian jangka panjang.


Dalam hal ini, lahan kritis bukan sekadar isu lingkungan. Ia adalah soal keadilan sosial dan distribusi manfaat pembangunan.


Rehabilitasi Simbolik, Masalah Utama Tidak Tersentuh


Ironisnya, berbagai upaya penanganan lahan kritis di Kabupaten Serang masih berhenti pada pendekatan simbolik. Program rehabilitasi sering kali lebih menonjolkan citra ketimbang pemulihan ekologis yang sungguh-sungguh. 


Penanaman pohon dilakukan secara seremonial, tanpa perencanaan jangka panjang, tanpa perawatan berkelanjutan, dan tanpa sistem pemantauan yang jelas. Disaat bersamaan, izin-izin eksploitasi tetap diberikan atau dibiarkan berjalan. 


Kebijakan pun terlihat kontradiktif: di satu sisi pemerintah berbicara tentang pemulihan lingkungan, di sisi lain membuka ruang bagi aktivitas yang justru mempercepat kerusakan. 


Bahkan DLH Kabupaten Serang sendiri mengakui bahwa banyak lahan rusak merupakan bekas tambang yang belum direhabilitasi secara optimal. Sebuah pengakuan yang sekaligus menegaskan lemahnya pengawasan dan penegakan kewajiban reklamasi pasca tambang.


Tanpa keberanian menyentuh akar persoalan, mulai dari evaluasi izin pertambangan, penegakan sanksi, hingga penataan ulang orientasi Pembangunan rehabilitasi hanya akan menjadi alibi kebijakan. Ia hanya ada di atas kertas, tetapi gagal memulihkan fungsi ekologis di lapangan.


Masyarakat yang Terus Ditempatkan di Posisi Salah


Di sinilah ketimpangan tanggung jawab paling terasa. Masyarakat terus didorong untuk “menjaga lingkungan”, seolah-olah merekalah penyebab utama kerusakan lahan.


Kampanye kesadaran diarahkan ke warga, namun praktik perusakan terus di lakukan secara legal, terstruktur, dan dilindungi kebijakan perizinan.


Padahal, masyarakat bukan aktor utama degradasi lahan, melainkan pihak yang paling merasakan dampaknya. Mereka menghadapi banjir, longsor, krisis air bersih, hingga turunnya produktivitas pertanian, tanpa memiliki kendali nyata atas keputusan yang memicu kerusakan tersebut.


Ketika risiko ditanggung warga, sementara manfaat ekonomi terkonsentrasi di segelintir pihak, lahan kritis berubah menjadi cermin ketimpangan struktural.


Tanggungjawab Negara dan Arah Demokrasi Lokal


Tanggung jawab utama tetap berada di tangan pemerintah daerah. Evaluasi menyeluruh izin pertambangan, transparansi data lingkungan, dan penegakan hukum yang konsisten bukan pilihan tambahan, melainkan kewajiban dasar.


Tanpa keberanian politik untuk membatasi eksploitasi, angka lahan kritis hanya akan terus bertambah sementara anggaran publik habis untuk menanggulangi bencana yang sebenarnya bisa dicegah.


Lebih jauh, persoalan lahan kritis mencerminkan kualitas demokrasi lokal. Ketika kebijakan lingkungan diambil tanpa partisipasi bermakna masyarakat terdampak, pembangunan berubah menjadi proyek elite, bukan proses bersama. Lingkungan hidup bukan ruang kosong, melainkan ruang hidup warga yang dijamin konstitusi.


Kabupaten Serang tidak kekurangan data. Yang kurang adalah keberanian. Ketika ribuan hektare lahan rusak terus dibiarkan atas nama pembangunan, yang dipertaruhkan bukan hanya lingkungan, tetapi keselamatan warga dan masa depan daerah.


Jika negara terus hadir terlambat dan setengah hati, publik berhak bertanya: apakah pemerintah sedang mengelola pembangunan, atau justru sedang mengelola kerusakan?


Penulis: Tobi Setiawan Adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang Kota Serang.


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Lahan Kritis di Kabupaten Serang: Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?

Tidak ada komentar:

Trending Now

Iklan