![]() |
| Sumber Gambar: Citra satelit area Pulo Ampel, 05 Desember 2025. |
Apa yang disebut “pengembangan kawasan” pada praktiknya justru berubah menjadi perampasan ruang hidup, ketika gunung-gunung dihilangkan dari peta demi keuntungan segelintir pengusaha.
Jejak yang ditinggalkan tidak sekadar cekungan tanah dan debu yang beterbangan, melainkan kerusakan ekologis yang sistematis, banjir semakin sering terjadi, kualitas udara memburuk, dan jalan publik berubah menjadi lintasan truk tambang yang merusak tanpa konsekuensi. Warga dipaksa hidup dalam polusi yang tidak mereka ciptakan, tetapi harus mereka tanggung setiap hari.
Lebih parah lagi, konflik sosial bukan hanya efek sampingan, melainkan konsekuensi dari praktik yang difasilitasi negara. “Legalitas” tambang sering kali berdiri di atas prosedur administratif yang tertutup, jauh dari transparansi, dan nyaris tanpa partisipasi masyarakat.
Izin usaha yang seharusnya mengatur dan membatasi kerusakan alam malah menjadi tameng yang membuat korporasi kebal kritik. Pada akhirnya, hukum justru bekerja sebagai pelayan kepentingan modal, sementara warga hanya menjadi penonton yang menerima dampak, tanpa ruang untuk menentukan masa depan tanahnya sendiri.
Tambang Boleh Ada, Tapi Pengelolaannya Harus Sesuai Aturan dan Bertangungjawab
Tidak ada yang salah dengan aktivitas tambang jika dikelola sesuai aturan. Persoalannya, tata kelola tambang di Bojonegara–Pulo Ampel menunjukkan pola klasik persoalan daerah pertambangan Indonesia, izin tidak transparan, pengawasan lemah, dan dampak lingkungan yang tidak dipulihkan.
Warga setempat sudah lama mengeluhkan debu dari aktivitas crushing, getaran blasting yang meretakkan dinding rumah, serta hilangnya vegetasi penahan air yang meningkatkan risiko longsor dan banjir.
Jalan desa yang seharusnya menjadi akses warga berubah menjadi jalur truk berkapasitas puluhan ton, meninggalkan lubang-lubang besar yang diperbaiki seadanya. Ini bukan sekadar ketidaksengajaan teknis namun ini merupakan tanda jelas kegagalan tata kelola.
Transparansi Izin Masih Menjadi Mitos
Publik hampir tidak pernah tahu siapa pemegang izin tambang, berapa luas wilayah konsesi, bagaimana isi AMDAL, dan apa kewajiban reklamasi yang harus dipenuhi perusahaan.
Ketika dokumen lingkungan tidak dapat diakses warga, bahkan musyawarah mengenai AMDAL hampir tidak pernah melibatkan Masyarakat sekitar, maka merupakan hal yang wajar jika muncul kecurigaan dalam Masyarakat bahwa perizinan lebih banyak mengakomodasi kepentingan investor, bukan kepentingan masyarakat.
Keterbukaan seharusnya menjadi standar, bukan permintaan.
Pascatambang yang Tak Pernah “Selesai”, kewajiban reklamasi dan pascatambang sudah jelas tertulis dalam regulasi: perusahaan wajib menata kembali lahan, menanam kembali vegetasi, dan memastikan stabilitas lereng.
Namun realitas di Bojonegara–Pulo Ampel menunjukkan hal lain, bukit-bukit yang diratakan bahkan tidak sedikit yang meninggalkan lubang yang cukup dalam dibiarkan menjadi tebing curam yang rawan longsor dan jurang kematian.
Tidak tampak upaya pemulihan vegetasi. Bekas galian menampung air hujan tanpa pengelolaan. Bahkan, beberapa lokasi tampak seperti lanskap “tanpa masa depan” monumen bisu tentang betapa murahnya nilai lingkungan dalam urusan ekonomi lokal.
Jika perusahaan tak pernah menuntaskan tanggung jawab pascatambang, maka yang diwariskan kepada generasi putra daerah hanyalah risiko bencana.
Pengawasan: Ada Secara Dokumen, Absen Secara Praktik
Jumlah Inspektur Tambang di tingkat provinsi memang terbatas, tapi itu bukan alasan pembiaran.
Polda Banten Bersama Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) telah melakukan inspeksi mendadak (Sidak) pada akhir November lalu, namun hal itu dianggap oleh masyarakat hanyalah sebagai formalitas dan bersifat seremonial semata.
Karna banyak pelanggaran berjalan lama tanpa Tindakan seperti operasi di luar area izin, jam operasional melebihi ketentuan, hingga over capacity angkutan. Sanksi yang seharusnya bertingkat sering berhenti pada teguran administratif yang tidak membawa perubahan.
Ketika pengawasan tidak tegas, pertambangan berubah dari aktivitas legal menjadi aktivitas liar yang berkedok legal.
Masyarakat Menanggung Beban, Daerah Mendapat Sedikit
Paradoks terbesar dari tambang batu di Bojonegara–Pulo Ampel adalah bahwa kerusakan lingkungan, polusi, dan infrastruktur yang hancur justru ditanggung masyarakat dan pemerintah daerah, sementara keuntungan utamanya mengalir ke kantong perusahaan.
Berdasarkan data Bapenda, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor tambang hingga November 2025 hanya mencapai Rp17,29 miliar.
Angka ini tampak besar di atas kertas, tetapi tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan biaya eksternalitasnya: jalan umum yang rusak berat, hilangnya tutupan lahan, banjir musiman, dan konflik sosial berkepanjangan.
Ironisnya, pemerintah daerah harus menggelontorkan anggaran publik untuk memperbaiki kerusakan yang tidak mereka ciptakan, sementara korporasi tidak diminta bertanggung jawab secara nyata atas dampaknya.
Beban paling berat tentu dipikul masyarakat. Warga hidup berdampingan dengan debu tambang yang mengancam sistem pernapasan, suara ledakan yang menjadi rutinitas, serta risiko kecelakaan tinggi akibat truk tambang yang hilir-mudik tanpa kontrol.
Mereka tidak mendapat kompensasi layak, tidak dilibatkan dalam proses perizinan, namun harus menanggung semua resiko kesehatan, ekonomi, dan keselamatan. Model seperti ini bukan Pembangunan, ini eksploitasi terselubung yang dilegitimasi.
Bojonegara–Pulo Ampel tidak boleh mengulangi tragedi tambang nasional. Sudah banyak daerah yang ditinggalkan dalam keadaan sekarat setelah cadangannya habis: gunung menjadi cekungan raksasa, sungai tercemar, dan masyarakat miskin di tengah “kemakmuran tambang” yang hanya dinikmati investor.
Dari Kalimantan hingga NTT, dari Sulawesi hingga Jawa sendiri, sejarah sudah berkali-kali membuktikan bahwa penambangan tanpa tata kelola yang kuat lebih banyak merugikan daripada menguntungkan dalam jangka panjang.
Bojonegara–Pulo Ampel masih bisa diselamatkan, tetapi hanya jika pemerintah daerah berani mengakhiri kompromi terhadap para pemilik modal. Transparansi izin harus dibuka, audit lingkungan harus wajib, dan tanggung jawab korporasi harus dipaksa, bukan diminta dengan halus.
Jika tidak segera diperbaiki, kawasan ini hanya akan menjadi contoh berikutnya dari daerah yang rusak parah, ditinggalkan setelah habis dieksploitasi, dan hanya menyisakan penderitaan bagi masyarakat yang tidak pernah ikut menikmati hasilnya.
Apa Yang Harus di Lakukan?
Berbagai langkah harus segera diambil untuk memperbaiki tata kelola tambang batu gunung di Bojonegara–Pulo Ampel. Transparansi menjadi kunci, melalui portal publik yang memuat dokumen izin dan AMDAL secara penuh, serta audit lingkungan yang independen untuk memastikan kepatuhan nyata di lapangan.
Pengawasan aktif oleh Pemprov Banten harus dibarengi dengan penegakan sanksi tanpa kompromi bagi pelanggar bukan hanya teguran dan formalitas saja.
Selain itu, kewajiban reklamasi harus dilakukan secara nyata, bukan sekadar formalitas administratif. Pemerintah dan pelaku usaha wajib melibatkan partisipasi Masyarakat sekitar, sehingga warga yang terdampak memiliki peran dalam mengawasi dampak lingkungan, sosial, dan kesehatan.
Upaya mitigasi juga perlu diperkuat melalui pembatasan jam oprasional truk tambang demi melindungi infrastruktur dan keselamatan warga.
Yang tidak kalah penting, seluruh konsesi tambang harus dievaluasi ulang, terutama yang berada dekat pemukiman dan area rawan bencana.
Tanpa langkah-langkah tegas ini, kawasan Bojonegara-Pulo Ampel berisiko menuju masa depan yang kumuh, panas, rusak, tidak layak huni dan rawan bencana sementara sumber daya alamnya telah habis tanpa bekas dan tanpa manfaat nyata bagi masyarakat sekitar.
Jika pemerintah terus menutup mata, maka kehancuran bukan lagi ancaman melainkan Keputusan yang mereka pilih sendiri. Dan rakyat akan mengingat siapa yang membiarkan tanahnya hancur.
Penulis: Tobi Setiawan Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang Kota Serang.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar