JAKARTA | Universitas Paramadina menyelenggarakan Diskusi Publik bertajuk “Evaluasi & Outlook Pendidikan Tinggi Riset Menuju Kampus Global” sebagai forum refleksi kritis terhadap arah kebijakan pendidikan tinggi Indonesia di tengah persaingan global.
Diskusi ini menghadirkan pemangku kepentingan strategis dari legislatif dan pimpinan perguruan tinggi nasional.
Diskusi dimoderatori oleh Dr. Handi Risza Idris, Wakil Rektor Universitas Paramadina, dengan pembicara Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP (Ketua Komisi X DPR RI), Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc., Ph.D (Rektor Universitas Paramadina), Prof. Sofia W. Alisjahbana, M.Sc., Ph.D (Rektor Universitas Bakrie), serta Prof. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc., IPU (Rektor Universitas Muhammadiyah Bandung) dan Prof. Andi Adriansyah M.Eng.
Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, menegaskan bahwa pendidikan tinggi Indonesia tengah menghadapi krisis arah dan kualitas.
Ia menyatakan secara lugas, “Dunia kampus kita telah kehilangan momentum untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi, daya inovasi, riset dan lainnya, apalagi untuk mengejar ketertinggalan kualitas SDM dengan negara-negara seperti Singapore dan Malaysia.”
Menurut Prof. Didik, kualitas perguruan tinggi berbanding lurus dengan daya saing ekonomi suatu bangsa.
Ia mencontohkan Vietnam yang berhasil memacu pertumbuhan ekonomi hingga 7,5 persen per tahun sebagai buah dari keberhasilan membangun kualitas SDM melalui pendidikan tinggi.
Ia juga mengkritik praktik ekspansi masif perguruan tinggi negeri yang mengabaikan kualitas. “Ketika rasio dosen dan mahasiswa dilakukan di kampus negeri, maka ketahuan rasio dosen vs mahasiswa ternyata 1 : 250. Jelas hal itu tidak sehat bagi kampus negeri dan tidak sehat bagi ekosistem pendidikan tinggi secara keseluruhan,” tegasnya.
Lebih jauh, Prof. Didik menilai pembukaan kelas magister oleh kampus negeri di Jakarta tidak berkorelasi dengan peningkatan mutu akademik. “Itu praktis hanya kelas untuk menambah pendapatan kantong dosen-dosennya.
Tidak ada hubungannya dengan peningkatan kualitas dosen, riset dan inovasi perguruan tinggi,” ujarnya. Ia menutup dengan seruan agar orientasi perguruan tinggi negeri kembali pada riset dan inovasi, bukan sekadar pengajaran massal.
Sementara itu, Ketua Komisi X DPR RI, Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP, menggarisbawahi tiga isu utama pendidikan tinggi nasional, yakni ketersediaan dan akses, keterjangkauan biaya, serta kualitas perguruan tinggi yang masih terpusat di Pulau Jawa.
Ia menekankan bahwa tantangan riset dan inovasi semakin mendesak seiring perubahan kebutuhan dunia industri dan masyarakat.
Menurut Hetifah, perguruan tinggi Indonesia perlu bertransformasi dari sekadar institusi pengajaran menuju pusat inovasi dan penggerak kemajuan ekonomi.
Evolusi ini penting agar lulusan mampu menjawab tantangan strategis nasional seperti energi terbarukan, ketahanan pangan, dan penguasaan sains serta teknologi.
Dari perspektif transformasi kelembagaan, Prof. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc., IPU menekankan pentingnya peningkatan kualitas berbasis strategi dan perencanaan jangka panjang.
Ia menyampaikan bahwa perangkingan global dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu dalam merumuskan prioritas sumber daya dan arah transformasi kampus.
Ia mendorong perguruan tinggi untuk bergerak dari teaching university menuju research university hingga entrepreneurial university atau yang ia sebut sebagai “kampus berdampak”.
Menurutnya, kampus harus menjadi penghela ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan bukti (evidence-based economy), sekaligus berkontribusi nyata dalam perumusan kebijakan publik.
Pandangan kritis terhadap perangkingan global disampaikan oleh Prof. Andi Andriansyah, M.Eng. Ia menilai bahwa fokus berlebihan pada indikator kuantitatif seperti publikasi, sitasi, dan reputasi akademik telah menimbulkan distorsi tujuan pendidikan tinggi.
“Seolah-olah kampus menjadi fabrikasi publikasi, sitasi, juga artikel tetapi tidak mengukur efek impact dan dampaknya kepada masyarakat kita secara umum,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa banyak persoalan lokal dan regional justru terabaikan akibat obsesi terhadap standar global.
“Akhirnya dosen dan civitas akademika tertekan untuk meningkatkan kuantitas dari riset mereka, bukan mengejar kualitas dari dampak riset tersebut,” tambahnya.
Prof. Andi mengusulkan pergeseran paradigma dari global ranking menuju global relevance, yakni pengakuan dunia terhadap kampus yang relevan dan berdampak nyata bagi masyarakat.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar