Gelar Unras, PMM Minta Gubernur Sumbar Jangan Lindungi Terduga Korupsi Anggaran Covid-19

Ansori S
Rabu, Mei 05, 2021 | 17:11 WIB Last Updated 2021-05-05T10:11:06Z

SUMBAR | Puluhan mahasiswa yang tergabung didalam organisasi Pergerakan Milenial Minang (PMM) kembali melakukan aksi unjuk rasa kembali meminta gubernur memecat oknum pejabat Pemprov yang terlibat dalam dugaan Korupsi Mark up handsanitizer sebesar Rp. 4,9 milliar dan kerugian negara sebesar Rp. 49 Milliar serta meminta Kapolda Sumbar serius menangani kasus dugaan Korupsi tersebut.


Aksi yang dilakukan PMM Tersebut sudah yang ke empat kalinya di lakukan kelompok mahasiswa tersebut, terpantau kelompok mahasiswa tersebut melakukan aksi unjuk rasa di halaman Gubernur dan Mapolda Sumbar dengan mematuhi protokol kesehatan, Selasa (4/05/2021).


Fikri Haldi Ketua Umum Pergerakan Milenial Minang mengungkapkan dalam orasinya, Ini aksi yang empat kali kami lakukan, meminta gubernur Sumbar segera memecat oknum kepala dinas yang terlibat, karena kami menilai Gubernur Sumbar terkesan melindungi oknum pejabat tersebut, terbukti hingga hari gubernur tidak melakukan pemecatan kepada oknum tersebut dan terkesan diam dan menghindar terhadap persoalan ini.


"Jelas ini tidak mencerminkan citra beliau yang di kenal masyarakat melalui media, berbanding terbalik dengan sosok Buya dicitrakan keberaniannya dalam menegakkan kebenaran, beliau malah selalu menghindar dan tutup mata," teriak Fikri.


"Korupsi di tengah Pandemi merupakan penghianatan kepada masyarakat dan para tenaga kesehatan yang berjuang di garda terdepan melawan virus Pandemi Covid-19, bahkan hak-hak tenaga kesehatan belum mendapatkan intensif masih terdengar sumbang mereka malah memanfaatkan situasi merampok anggran tersebut," tandasnya.


Fikri menegaskan, jika gubernur benar tidak mendengarkan aspirasi kami tinggalkan sepucuk surat ke gubernur, dan kami tembuskan ke Mendagri, Ombudsman dan DPRD Provinsi Sumbar serta BPK RI, terkait meminta oknum pejabat Pemprov tersebut di pecat.


"Kami juga meminta Kapolda sebagai penegak hukum juga cepat tersangkakan semua yang terlibat, apa Kendala Polda sehingga gagap mengusut tuntas kasus ini,  sikap ini menambah ketidak percayaan Masyarakat terhadap penegakan hukum bagi mereka yang memilik jabatan, hukum seharusnya tidak seperti itu, semua sama Dimata hukum, jangan tumpul keatas tajam kebawah. Kalo gubernur dan Polda lambat seperti ini wajar saja kami akhirnya beranggapan kasus tersebut dilakukan sistematis dan masif, karna leletnya penegakan hukum dan sedikit nya informasi terkait perkembangan kasus ini kepada masyarakat," tegas Fikri.

Meskipun di guyur hujan yang lebat masa aksi tetap bertahan melakukan orasi ditengah guyuran hujan lebat di depan Mapolda Sumbar dalam waktu yang cukup lama meminta Kapolda Sumbar mengusut tuntas kasus dugaan Korupsi anggaran Covid-19, masa membubarkan diri dengan tertib sekitar pukul 17.30 WIB.


Untuk diketahui, berdasarkan keluarnya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) No. 53/LHP/XVII.PDG/12/2020 tanggal 29 Desember 2020 terhadap Kepatuhan atas Penanganan Pandemi Covid-19 Tahun 2020 pada Pemerintah Provinsi Sumbar, BPK menemukan beberapa permasalahan ketidakpatuhan termasuk pengadaan barang dan jasa bidang kesehatan, yaitu indikasi pemahalan harga pengadaan hand sanitizer dan adanya transaksi pembayaran kepada penyedia yang tidak sesuai dengan ketentuan.


Pada Indikasi pemahalan harga pengadaan hand sanitizer ukuran 100 ml, terdapat indikasi kerugian daerah sebesar Rp. 1,872 miliar dan pengadaan hand sanitizer kemasan 100 ml sebanyak 10.000 botol senilai Rp. 350 juta tidak dapat diyakini keterjadiannya, Indikasi pemahalan harga pengadaan hand sanitizer ukuran 500 ml, terdapat indikasi kerugian daerah sebesar Rp. 2,975 miliar, dan transaksi pembayaran kepada penyedia tidak sesuai ketentuan, sehingga berpotensi penyalahgunaan dana dari pembayaran tunai kepada penyedia dan pembayaran kepada orang-orang yang tidak dapat diidentifikasi sebagai Penyedia sebesar Rp49 miliar lebih.


Dalam pengadaan hand sanitizer kemasan 100 ml, BPBD Sumbar mengadakan kontrak pengadaan dengan tiga penyedia yaitu CV CBB, CV BTL dan PT MPM. Dokumen surat pesanan dan kontrak ditandatangani oleh Kalaksa BPBD juga selaku PA yaitu bapak Erman Rahman dan Direktur tiga penyedia tersebut.


Pada pelaksanaan ditemukan ketiga penyedia mengambil hand sanitizer dari PT NBF yang kemudian dikemas dalam botol berlogo BPBD, BPK menilai penunjukan penyedia tidak mempertimbangkan pengalaman perusahaan penyedia dan hanya menunjuk penyedia atas kesiapan menyiapkan barang secara cepat.


Mengejutkan tiga penyedia tersebut ternyata baru memperoleh izin usaha farmasi kesehatan pada 2020. Bahkan, pemesanan hand sanitizer kepada BNF tidak menggunakan nama tiga perusahaan penyedia yang ditunjuk melainkan atas nama TS yang merupakan istri dari Kalaksa BPBD Sumbar.


CV BTL sebelumnya berkegiatan usaha di bidang pertekstilan, sedangkan CV CBB didirikan di Tahun 2020 antara lain langsung berkegiatan usaha di bidang perdagangan eceran alat laboratorium, farmasi, dan kesehatan.

Untuk PT MPM, perusahaan tersebut didirikan di tahun 2019 di bidang perdagangan besar alat laboratorium, farmasi, dan kedokteran. Ketiga Penyedia tersebut baru memperoleh izin untuk klasifikasi lapangan usaha Perdagangan Besar Alat Laboratorium, Farmasi dan Kedokteran, dan Perdagangan Besar Farmasi pada tahun 2020.


Sebab itu, terindikasi bahwa penyedia belum berpengalaman untuk penyediaan barang sejenis sebelum pandemi Covid-19,Pembayaran hand sanitizer 100 ml kepada PT NBF tidak dilakukan oleh Penyedia melainkan oleh pihak yang tidak terkait dengan pengadaan.


Pembayaran yang diterima PT NBF, diketahui terdapat pembayaran yang dilakukan oleh TS sebanyak 12 kali dan MRR yang teridentifikasi merupakan anak dari ER sebanyak satu kali dari 15 kali transaksi transfer yang diterima oleh PT NBF.


Kemudian proses pengadaan untuk hand sanitizer 500 ml dilaksanakan oleh Kalaksa BPBD dan Tim Penanggulangan Covid-19 untuk Pengadaan Barang/Jasa, dan kontrak dengan satu penyedia PT AMS.


Proses yang dilakukan sama dengan pengadaan hand sanitizer 100 ml, Terungkap pengadaan hand sanitizer 500 ml diproduksi oleh PT KI Tbk namun yang memesan bukan PT AMS sebagai penyedia, melainkan Direktur CV CBB.


Untuk pembayaran kepada PT KI tidak dilakukan oleh PT AMS melainkan oleh YD yang merupakan menantu Kalaksa BPBD dan anak kandungnya RRR, Dari pengamatan atas alamat kantor CV CBB, diketahui CV CBB berkantor di alamat yang sama dengan PT UCHTT yang bergerak di bidang tour dan travel.


Berdasarkan informasi dari www.simpu.kemenag.go.id, PT UCHTT terdaftar sebagai Perusahaan Penyelenggara Ibadah Umrah dengan Direktur adalah AR yang terindentifikasi merupakan besan dari Kalaksa BPBD. Selain itu, di tempat yang sama juga berkantor PT UMME yang bergerak di bidang money changer.


Berdasarkan keterangan Kalaksa BPBD bahwa bisnis money changer ini dikelola oleh YD, yang teridentifikasi sebagai menantu Kalaksa BPBD, anak AR. Komisaris dan Direktur CV CBB berindikasi juga merupakan pegawai dari PT UMME, Terungkap juga, CV CBB pernah melakukan transfer kepada PT UMME pada tanggal 19 Agustus 2020 sebesar Rp.1,8 Miliar yang dilakukan untuk menambah modal usaha perusahaan.


Hal tersebut didukung dengan dokumen bukti setoran. Uang yang ditransfer tersebut menurut G selaku Direktur CBB merupakan uang yang berasal dari pengadaan barang oleh CV CBB dengan BPBD.


Kondisi ini menunjukkan adanya keterkaitan antara G dengan YD, Kemudian sehubungan dengan pembayaran tunai kepada penyedia, Inspektorat telah bersurat kepada Kepala Pelaksana BPBD pada 17 Juni 2020, perihal Rekomendasi Hasil Opname Kas dan Opname Barang pada BPBD.


Inspektorat merekomendasikan kepada Kepala Pelaksana BPBD agar pelaksanaan transaksi dilakukan dengan mekanisme non tunai sesuai Instruksi Gubernur Sumatera Barat, Instruksi Gubernur Sumatera Barat Nomor 2/INST-2018 tentang Pelaksanaan Transaksi Non Tunai pada Diktum Kesatu, menyatakan bahwa para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah antara lain melakukan pembayaran kepada penerima/pihak ketiga, penerima hibah yang dananya bersumber dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah melalui mekanisme non tunai, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 telah mengatur tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pada Pasal 7 ayat (1) menjelaskan bahwa semua pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa mematuhi etika diantaranya menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berakibat persaingan usaha tidak sehat dalam pengadaan barang/jasa, menghindari dan mencegah pemborosan dan kebocoran keuangan negara serta menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi.


(*/Redaksi)

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Gelar Unras, PMM Minta Gubernur Sumbar Jangan Lindungi Terduga Korupsi Anggaran Covid-19

Tidak ada komentar:

Trending Now

Iklan