Sorot Hasil Pemeriksaan TWK, Profesor Nuhasan Sebut ORI Seperti Kontestasi Kewenangan Dengan Lembaga Peradilan

serangtimur.co.id
Sabtu, Juli 24, 2021 | 12:09 WIB Last Updated 2021-07-24T05:09:55Z
Guru Besar Fakultas Hukum UGM Profesor Nurhasan Ismail (Dok.Istimewa)

TANGERANG | Guru Besar Fakultas Hukum UGM Profesor Nurhasan Ismail angkat suara menyikapi hasil pemeriksaan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) terhadap laporan Pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dari hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).


Menurut Profesor Nurhasan pemeriksaan oleh ORI ditujukan pada tiga aspek yakni proses penyusunan kebijakan, pelaksanaan asesmen TWK dan penetapan hasil asesmen TWK. Dari hasil pemeriksaan itu, ORI berpendapat telah terjadi maladministrasi proses pelaksanaan asesmen TWK.


Kemudian, ORI mengajukan tindakan korektif yang di antaranya tidak memecat 75 Pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK atau yang dinyatakan TMS alih status menjadi pegawai ASN dan sebaliknya mengangkat mereka menjadi pegawai ASN.


"Ada beberapa hal yang menarik untuk dianalisis berkaitan dengan hasil pemeriksaan dan pengajuan tindakan korektif ORI," ujar Profesor Nurhasan saat siaran tertulis diterima, Sabtu (24/7/2021).


Dikatakan bahwa penilaian ORI terjadinya maladministrasi lebih banyak terkait dengan prosedur aspek formal penyusunan Peraturan KPK No 1 Tahun 2021, meliputi penyimpangan prosedur rapat harmonisasi, penandatanganan berita acara rapat harmonisasi dan tidak menyebarluaskan Peraturan KPK tersebut serta penilaian Badan Kepegawaian Nasional (BKN) tidak kompeten melaksanakan TWK.


Jika bentuk maladministrasi yang ditentukan dalam UU No 37/2008 yang menjadi kewenangan ORI, maka Profesor Nurhasan berujar terdapat ketidakcocokan atau ada pertentangan antara norma dengan praktik yang dilakukan ORI dalam kasus tersebut.


Artinya, ORI telah menjalankan kewenangannya secara tidak tepat karena secara normatif maladministrasi yang menjadi kewenangan ORI terkait dengan pelayanan publik dalam pelaksanaannya terdapat perbuatan melawan hukum, melampaui kewenangan, menggunakan wewenang untuk tujuan lain, atau kelalaian/pengabaian kewajiban hukum yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterril.


"Berdasarkan norma ini, ORI seharusnya menilai adanya maladministrasi berkaitan dengan penyimpangan prosedur dan persyaratan dalam pelaksanaan TWK serta penetapan peserta TWK tidak lulus padahal nilainya memenuhi syarat untuk dinyatakan lulus. Realitanya, ORI bukan menilai hal-hal tersebut sebagai bentuk maladministrasi dalam kasus tersebut," paparnya.


Peneliti Ilmu Hukum ini melanjutkan bentuk maladministrasi yang dinilai oleh ORI lebih pada prosedur syarat formal penyusunan peraturan perundang-undangan dimana bukan menjadi kewenangannya dan seharusnya menjadi domain Mahkamah Agung untuk mengujinya. Kemudian langkah BKN berdasarkan peraturan perundang-undangan mempunyai kompetensi untuk menyelenggarakan tes kepegawaian dalam rangka penerimaan pegawai ASN. 


"Bahwa pelaksanaannya menggandeng lembaga-lembaga lain yang lebih menguasai tes wawasan kebangsaan harus ditempatkan sebagai bagian dari sikap hati-hati dan profesional sebagaimana dituntut oleh asas pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan," terangnya.


Kemudian menurut Profesor Nurhasan, ada logika hukum yang tidak konsisten antara sebab - akibat-tindakan korektif yang diajukan ORI. Perbuatan yang ditempatkan sebagai sebab adalah penyimpangan prosedur penyusunan Peraturan KPK No.1/2021. Sebab ini kemudian dinilai telah menimbulkan akibat berupa kerugian yaitu ketidaklulusan 75 pegawai KPK dalam TWK. 


"Antara sebab dengan akibatnya tidak mempunyai hubungan langsung. Dari sebab-akibat yang tidak terkoneksi kemudian berujung pada pengajuan tindakan korektif yang tidak terkoneksi dengan sebab akibat yaitu agar 75 orang yang tidak lulus TWK diangkat sebagai pegawai ASN," ungkapnya.


Selanjutnya, dari hasil pemeriksaan ORI terhadap kasus tersebut dapat diajukan suatu penilaian bahwa ORI sedang berkontestasi kewenangan dengan lembaga peradilan, pertama dengan Mahkamah Agung yang sedang melaksanakan uji terhadap Peraturan KPK No 1 Tahun 2021, baik aspek formalnya yaitu  prosedur pembentukannya maupun aspek materiilnya yaitu konsistensi substansi normanya dengan peraturan yang lebih tinggi. 


"Dengan hasil pemeriksaannya yang sudah disampaikan ke publik, ORI telah mendahului Mahkamah Agung menilai adanya penyimpangan prosedur," tegasnya.


"Kedua dengan PTUN yang sedang memeriksa gugatan terhadap pelaksanaan TWK dan SK pemecatan pegawai KPK yang dinyatakan TMS diangkat menjadi ASN. Dengan penilaian bahwa BKN tidak mempunyai kompetensi melaksanakan TWK, ORI telah mendahului menilai tidak kompetennya BKN," papar Guru Besar Fakultas Hukum UGM ini.


Terkait adanya SK Pemecatan, jika merujuk PP 41 Tahun 2020, masih terbuka untuk dikoreksi dengan membuka pegawai KPK yang tidak lulus TWK untuk diangkat menjadi Pegawai KPK dengan Perjanjian Kerja dengan catatan harus lulus dari Diklat Wawasan Kebangsaan dan penempatan pada bagian yang masih terbuka di KPK.


"Namun, secara the facto lembaga KPK isampai sekarang belum pernah memberhentikan pegawai yang TMS untuk menjadi ASN," ujar Profesor Nurhasan.


Diketahui, saat ini sebanyak 18 orang sedang mengikuti diklat Bela Negara dan wawasan kebangsaan, 6 orang pegawai tidak bersedia mengikuti diklat bela negara dan wawasan kebangsaan (walau sebelumnya sudah diberitahu dan dikomunikasikan untuk meminta kesediaan mengikuti diklat) dan 51 pegawai yang TMS untuk menjadi ASN belum ada yang diberhentikan.


(*/Redaksi)

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Sorot Hasil Pemeriksaan TWK, Profesor Nuhasan Sebut ORI Seperti Kontestasi Kewenangan Dengan Lembaga Peradilan

Tidak ada komentar:

Trending Now

Iklan