![]() |
Dok. Istimewa |
JAKARTA | Institut Harkat Negeri bekerja sama dengan Paramadina Public Policy Institute dan Universitas Paramadina menggelar diskusi publik bertajuk "Mengelola Transisi Energi: Mengapa Indonesia Selalu Tertinggal?" di Auditorium Benny Subianto, Universitas Paramadina Trinity Tower Lt. 45, Rabu (18/6).
Diskusi hybrid ini dipandu oleh Sudirman Said, mantan Menteri ESDM sekaligus Ketua Institut Harkat Negeri.
Dalam diskusi, Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina, menyoroti lambannya pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia.
Ia menilai narasi lingkungan yang dominan kurang efektif karena kesadaran masyarakat yang masih rendah.
“Jika narasinya diubah menjadi pertumbuhan ekonomi dan kemandirian bangsa, hasilnya akan lebih besar,” ujarnya.
Ia juga menyoroti lemahnya posisi EBT dalam dokumen strategis negara seperti RPJMN dan RPJPN, serta menilai target-target seperti COP21 dan JETP terlalu ambisius tanpa peta jalan yang realistis.
Sementara itu, Prof. Dr. Eng. Eniya Listiani Dewi, Dirjen EBTKE, menegaskan pentingnya transisi energi untuk mencapai ketahanan nasional dan pertumbuhan ekonomi.
“Untuk pertama kalinya, RUPTL dan RUKN memasukkan hidrogen dan amoniak dalam bauran energi nasional,” ujarnya.
Namun ia mengakui tantangan besar, terutama dalam konsumsi listrik per kapita yang masih rendah dan ketimpangan pasokan listrik di beberapa wilayah, seperti Sulawesi dan Jawa yang kini berada di status "lampu kuning".
Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS, menekankan pentingnya pendekatan energi yang lebih adil dan partisipatif. Ia mengungkapkan bahwa masih banyak daerah mengalami kemiskinan energi meski rasio elektrifikasi tinggi.
“Energi seharusnya dipandang sebagai hak dasar, bukan sekadar produk teknis yang dikuasai oleh segelintir akademisi atau konsultan mahal,” tegasnya.
Ia juga mengkritik monopoli PLN dan ketidakkonsistenan kebijakan energi nasional, termasuk ironi ekspor-impor batubara dan nikel yang tidak mendukung kemandirian energi.
Paul Patar Butarbutar, Direktur PT JJB Sustainergy, menyoroti tantangan dalam implementasi Just Energy Transition Partnership (JETP).
Ia menyebut target dekarbonisasi akan sulit dicapai tanpa pendanaan memadai dan kepastian kebijakan.
“Kita hanya bisa bergerak sesuai dengan dana yang tersedia, yaitu sekitar 2,56 miliar dolar AS. Jumlah ini sangat terbatas jika melihat biaya pembangunan PLTU dan pembangkit EBT, termasuk jaringan transmisinya,” jelasnya.
Paul mendorong insentif fiskal yang setara untuk EBT dan menekankan pentingnya regulasi karbon serta kejelasan PPA yang bankable.
Diskusi ini menggarisbawahi perlunya perubahan paradigma transisi energi—dari narasi lingkungan menjadi agenda ekonomi nasional yang melibatkan masyarakat secara aktif, inklusif, dan berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar