SERANG | Polemik mega proyek Sawah Luhur kembali mencuat dan menimbulkan pro-kontra yang tajam di tengah masyarakat.
Proyek yang diduga ilegal ini bukan hanya berpotensi melanggar regulasi tata ruang, tetapi juga dikaitkan dengan dugaan alih fungsi Pulau Burung dan Pulau Satu yang memiliki nilai ekologis penting.
Creative Democracy Center (CDC), lembaga kajian demokrasi dan advokasi publik, menilai pemerintah daerah khususnya Walikota Serang gagal memberikan jawaban transparan atas polemik yang berkembang.
Atas dasar itu, CDC secara terbuka menantang Walikota Serang untuk hadir dalam diskusi publik terbuka, menghadapi langsung masyarakat, akademisi, dan pemerhati lingkungan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya.
Wildan Founder CDC menegaskan bahwa proyek yang menyangkut ruang hidup rakyat tidak boleh berjalan secara elitis dan penuh misteri. “Pemerintah seharusnya tidak bersembunyi di balik retorika pembangunan. Jika proyek Sawah Luhur benar-benar legal dan bermanfaat, mengapa pemerintah enggan membuka data, dokumen, dan analisis dampak lingkungannya secara terang benderang?," katanya, Jum'at (19/9/25).
Menurut kajian ilmiah CDC, terdapat tiga dimensi kritis yang mendasari polemik yakni
Dimensi Hukum
Dugaan ilegalitas proyek Sawah Luhur berpotensi melanggar UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Jika benar terjadi alih fungsi Pulau Burung dan Pulau Satu, maka pemerintah kota dapat dianggap melakukan pembiaran atas pelanggaran hukum yang serius.
Dimensi Ekologis
Pulau Burung dan Pulau Satu memiliki fungsi ekologis penting sebagai penyangga biodiversitas pesisir. Alih fungsi kawasan ini berpotensi menghancurkan ekosistem laut, mengganggu mata pencaharian nelayan, serta menimbulkan kerusakan lingkungan yang tak tergantikan.
Dimensi Demokrasi dan Sosial
Pembangunan yang dilakukan tanpa partisipasi publik akan melahirkan resistensi dan krisis legitimasi. Masyarakat tidak boleh dijadikan objek pembangunan, sementara kepentingan investor dibiarkan menguasai ruang hidup rakyat.
Demokrasi kreatif menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keberanian pejabat publik untuk menghadapi kritik rakyat.
Wildan menilai bahwa diamnya pemerintah dan absennya ruang dialog hanyalah memperlebar jurang ketidakpercayaan publik.
“Walikota harus membuktikan apakah ia pemimpin yang berani berdiri di hadapan rakyat, atau hanya pelayan modal yang menutup mata terhadap pelanggaran hukum dan kerusakan lingkungan,” tegas Wildan dalam pernyataan resminya.
Melalui tantangan diskusi terbuka ini, Wildan berharap tercipta ruang keterbukaan publik yang sehat, transparan, dan objektif.
Tanpa itu, mega proyek Sawah Luhur hanya akan tercatat sebagai contoh buruk pembangunan yang mengorbankan hukum, ekologi, dan martabat demokrasi lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar