Tanggapan Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini atas Misi Perdamaian Jokowi

serangtimur.co.id
Kamis, Juni 30, 2022 | 11:51 WIB Last Updated 2022-06-30T04:51:40Z
Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini 

JAKARTA | Presiden Joko Widodo menjalankan misi perdamaian dengan mengunjungi Ukraina dan dilanjutkan ke Rusia. Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini memberikan catatan atas hal tersebut, Kamis (30/6/2022).


Menurut Didik perang di zaman super modern seperti sekarang ini sangat tidak populer dan sangat membahayakan seluruh umat manusia di bumi. Perang jelas merupakan sebuah kebodohan kolektif karena jika seluruh persenjataan sangat super modern dikeluarkan atas dasar emosi marah para pemimpinnya, maka bukan hanya negara yang berperang tetapi seluruh isi bumi terancam dan bahkan hancur karena begitu kecanggihan super dari  peralatan perang pada zaman ini.



"Bom nuklir lebih setengah abad yang lalu, pada tahun 1945 sudah mampu membumihanguskan dua kota Jepang. Apalagi teknologi persenjataan modern sekarang, pasti lebih dahsyat daya hancurnya dibandingkan tujuh dekade yang lalu," katanya.


Karena itu, pemimpin negara besar yang jengah itu harus berpikir lebih jauh akibat dari perang seperti sekarang ini. Sebaliknya, harus ada lebih banyak hadir pemimpin yang menjalankan misi perdamaian dibandingkan dengan unjuk kegagahan dan kepongahan untuk mengobarkan perang seperti masa perang dunia kesatua dan kedua. 


"Dari sisi pandangan seperti ini, maka misi perdamaian Jokowi ke Ukraina dan Rusia merupakan secercah harapan dan langkah awal agar bumi lebih damai dan jauh dari perang. Upaya perdamaian ini patut diacungi jempol dan tidak boleh berhenti melainkan nanti dilanjutkan oleh menteri di bawahnya," ujar Didik.   


Dalam pandangan Didik, setelah hampir 8 tahun Jokowi enggan datang ke forum-forum internasional, sekarang saatnya yang tepat untuk memerankan politik bebas aktif, seperti diamanatkan oleh UUD 1945


"Citra dan kesan bahwa Jokowi "inward looking" mulai pupus karena sering tidak pernah hadir dalam pertemuan-pertemuan internasional. Namun sekali berperan dalam misi perdamaian ini, maka sekarang sudah memainkan peran yang strategis bagi dunia. Peranan ini juga sangat penting bagi Indonesia karena ini merupakan amanat UUD 1945," terangnya.


"Ini adalah permulaan yang sangat baik, cukup mengejutkan Jokowi mengambil keputusan ini, tentu dengan resiko bahaya yang tidak kecil, apalagi bersama Ibu Negara. Setelah bertemu Presiden Putin, misi perdamaian ini perlu dilanjutkan dalam kunjungan ke negara-negara besar di dalam G-20 sendiri, utamanya Cina, yang sekarang tetap menahan diri. Jokowi juga perlu hadir berpidato di forum PBB untuk menyuarakan perdamaian dunia. Para menterinya perlu mempersiapkan panggung jika momentum kunjungan ini mendapat sambutan yang baik dari kedua belah pihak," paparnya.   


Menurut Didik, diplomasi ke pihak NATO perlu dilanjutkan lebih mendalam oleh para menterinya karena Nato merupakan akar dan sumber masalah konflik sekarang dan mendatang. Hal yang aneh pada masa damai dimana ekonomi merupakan prioritas utama seluruh dunia, NATO justru unjuk kekuatan dan  menggerek misi mendominasi dunia.


"Yang begitu naif, konflik mengerikan ini terjadi di dalam negara anggota G-20 sendiri dimana keseluruhan anggota sering bertemu. Ada keseimbangan yang tidak dijaga dimana organisasi lainnya seperti NATO terus melebarkan sayap di masa damai, yang justru dianggap ancaman bagi Putin. Ini akar masalah sehingga untuk mendamaikan tidak berada dalam posisi menyalahkan satu pihak, dengan argumen apapun, tetapi kemudian memberi pembenaran pada yang lain. Kesalahan mengambil posisi di dalam PBB bisa dihapus dengan peran strategis yang sedang dilakukan Jokowi sekarang," tegasnya.


Posisi presidensi Indonesia di dalamnya sangat strategis dan menguntungkan bagi Jokowi dan Indonesia untuk berperan. Kelembagaan G-20 sangat penting dan mungkin lebih penting dari PBB yang isinya negara gangster dengan watak untuk menguasai, mendominasi dan bahkan jika bisa meniadakan eksistensi negara tertentu. PBB sulit diharapkan berperan untuk mendamaikan perang Rusia Ukraina karena posisinya sudah berpihak.


Didik juga menyarankan bahwa misi perdamaian ini tidak mesti dijalankan sendiri, tetapi perlu untuk mengajak negara besar bersikap seperti Indonesia, politik bebas aktif, yang oleh banyak kalangan ahli tidak harus bersikap netral. Tetapi untuk kasus perang Rusia Ukraina (NATO) ini, Indonesia harus memposisikan diri netral dan mengajak sebanyak mungkin negara lain untuk anti perang karena perang adalah ketololan dan jalan setan menuju kehancuran bumi dan umat manusianya.


Indonesia layak tampil sebagai negara yang berpengaruh di dunia untuk menjalankan misi perdamaian ini. Sejarah peranan Indonesia di dalam diplomasi dan perdamaian sudah dikenal dunia dimana Bung Karno adalah tokoh dunia yang sangat dikenal karena berdiri di tengah konflik ideologi dunia Barat dan Timur yang mengerikan. 


Jaman Soeharto juga banyak tampil diplomat-diplomat hebat yang mampu berperan mendamaikan. Konflik ideologi di Asia Tenggara dan Timur Tengah.


"Peranan Jokowi dalam hal ini sangat dihargai karena merupakan lompatan untuk Indonesia tampil kembali di gelanggang internasional, yang riskan konflik. Selamat berjuang Mr President," pungkasnya. 


[Redaksi]

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Tanggapan Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini atas Misi Perdamaian Jokowi

Tidak ada komentar:

Trending Now

Iklan